Oleh Eileen Rachman & Rizkiana Shadewi
Saat ini, banyak perusahaan mencanangkan integritas sebagai salah satu value yang harus dimiliki seluruh karyawannya. Karyawan diharapkan untuk mengikuti satu set aturan yang menentukan perilaku yang benar dan yang salah. Karyawan diharapkan untuk berlaku jujur, menepati janji, tidak berbuat curang, tidak mencuri, dan tidak merugikan orang lain.
Aturan dasar ini penting untuk menjaga kelangsungan perusahaan. Perusahaan ingin agar perilaku berintegritas ini dapat mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan perusahaan. Perilaku berintegritas juga diyakini dapat menjaga kepercayaan publik terhadap perusahaan.
Sayangnya, menanamkan value integritas bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita mungkin pernah membaca atau mendengar kasus-kasus seperti pencurian aset, rekayasa laporan keuangan, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan data pelanggan, hingga suap-menyuap untuk kepentingan segelintir orang. Tidak jarang, pelanggaran atau kecurangan dilakukan oleh “orang dalam” perusahaan.
Pemicu terjadinya pelanggaran
Kasus-kasus ini memberikan pesan tentang pentingnya prosedur pengamanan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Seorang yang tampak jujur dan profesional pun bisa melakukan pelanggaran jika tidak ada aturan yang baku.
Kita mungkin masih ingat slogan yang disampaikan dalam suatu tayangan berita kriminal di salah satu stasiun televisi beberapa tahun yang lalu, “Kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”
Slogan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Steve Albrecht dalam buku Deterring Fraud: The Internal Auditor’s Perspective. Melalui penelitian, Albrecht menyimpulkan, ada tiga elemen dalam tindakan fraud.
Pertama, pressure atau kondisi situasional yang dihayati sebagai masalah oleh si pelaku. Orang yang memiliki utang, mengalami kerugian finansial, atau memiliki kebutuhan finansial tidak terduga mungkin akan menjadikan fraud sebagai solusi atas masalahnya.
Gaya hidup dan keinginan yang jauh melebihi apa yang dibutuhkan juga bisa membuat seseorang mencari berbagai cara yang dapat memberikan keuntungan finansial baginya. Tekanan pun bisa datang dari keluarga atau teman yang memaksa seseorang untuk berlaku curang.
Kedua, opportunity atau peluang untuk melakukan, menutupi, dan menghindari hukuman dari tindakan pelanggaran. Kurang efektifnya strategi manajemen risiko dan prosedur kontrol internal di perusahaan bisa dilihat sebagai celah yang akan dimanfaatkan oleh pelaku fraud.
Orang yang memiliki wewenang dan familier dengan protokol di perusahaan bisa jadi mampu melihat kelemahan dari sistem yang ada. Ia pun bisa menemukan peluang untuk melakukan penyimpangan dan memanfaatkan akses yang ia miliki untuk menutupi kecurangannya.
Ketiga, personal integrity atau kode etik yang dimiliki oleh seseorang. Kode etik membuat ia mampu membedakan mana tindakan yang akan diterima dan mana tindakan yang dianggap salah. Ini berfungsi sebagai alarm dari dalam diri yang dapat mencegah perbuatan menyimpang.
Tanpa kode etik yang kuat, ia bisa jadi tidak melihat penyimpangan sebagai sebuah kesalahan. Ia pun akan menjustifikasi tindakannya sebagai sesuatu yang wajar untuk dilakukan.
Menurut Albrecht, ketiga elemen ini akan menentukan seberapa besar risiko terjadinya fraud. Fraud akan terjadi ketika ada pressure dan opportunity yang tinggi dibarengi dengan rendahnya personal integrity.
Oleh karena itu, upaya pencegahan tindakan pelanggaran perlu dilakukan dengan meningkatkan personal integrity, mengurangi pressure, dan meminimalisasi opportunity untuk melakukannya.
Berbagai upaya dapat dilakukan perusahaan, di antaranya memperketat prosedur kontrol internal untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran. Mengomunikasikan code of conduct dan menginternalisasikan integritas ke seluruh jajaran di perusahaan melalui corporate culture yang kuat juga penting untuk dilakukan.
Salah satu bank misalnya, memperbarui code of conduct tiap enam bulan sekali. Atasan pun harus mampu menjadi role model yang mencontohkan penerapan integritas ke timnya. Me-reward karyawan yang jujur dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelanggaran juga akan memberikan pesan tentang standar perilaku yang ideal.
Integritas vs tekanan dan kesempatan
Dalam keseharian, kalimat seperti, “Zaman sekarang, mau pakai cara yang salah saja susah, apalagi pakai cara yang benar” mungkin menjadi hal yang familier di telinga kita.
Ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana integritas kerap dikesampingkan ketika ada tekanan yang berat dan kesempatan yang menggiurkan.
Orang yang tidak sabar untuk mempertahankan cara yang benar dan lurus sering kali memilih jalan pintas yang membuatnya bisa selamat dari tekanan dan meraih keuntungan dengan cepat.
Jika dikaitkan dengan kaidah kesabaran yang disampaikan Al Imam Ibnu Qayyim, integritas layaknya iman dan akal sehat, sementara tekanan dan kesempatan layaknya hawa nafsu. Ketika berhadapan dengan situasi dilematis yang berkaitan dengan isu etika, kedua kubu ini akan saling berperang.
Jika kubu integritas yang menang, maka kita bisa bersabar dengan cara yang benar dan tidak terpengaruh dengan cara yang salah meskipun di tengah tekanan yang mengimpit.
Sebaliknya, jika kubu tekanan dan kesempatan yang menang, kita tidak bisa bersabar dan akan memilih cara yang salah demi mengatasi tekanan. Padahal, memenangkan hawa nafsu sama dengan membuka pintu menuju keburukan dan kejahatan.
Mencegah pelanggaran dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor eksternal maupun internal. Secara eksternal, perusahaan harus menutup dan memotong akses kesempatan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Secara internal, kita harus membentengi integritas diri dengan menguatkan prinsip keimanan di satu sisi dan melemahkan hawa nafsu di sisi yang lain. Jalan yang benar mungkin tampak tidak nyaman secara kasatmata, tetapi inilah makna integritas.
Seperti yang dikatakan Dr Brené Brown, “Integrity is choosing courage over comfort; choosing what is right over what is fun, fast, or easy.”
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 8 Mei 2021