Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Respons terhadap pembukaan lowongan pekerjaan di sebuah korporasi bergengsi selalu mendapatkan sambutan yang luar biasa. Para lulusan baru (fresh graduate) ini sudah membayangkan kesempatan belajar dan berkembang yang bisa mereka dapatkan bila dapat bergabung dalam program management trainee perusahaan tersebut.
Berkeliling dari satu divisi ke satu divisi, mempelajari berbagai hal baru, bertemu dengan orang-orang penting di perusahaan dan mengintip kisah sukses perjalanan karier mereka. Semuanya ini tentulah akan menjadi sebuah kesempatan emas yang luar biasa bagi kesuksesan kariernya pada masa mendatang.
Oleh karena itu, tidak heran para fresh graduate akan berjuang mati-matian untuk dapat lolos dari saringan yang sangat ketat itu.
Namun, berapa banyak kita menemukan curhatan para generasi muda ini di media sosial terkait kondisi lingkungan kerjanya. Ada yang bercerita mengenai budaya kompetisi yang sangat tinggi sampai sikut-menyikut ataupun memanfaatkan orang lain demi mengejar prestasi pribadi.
Tidak sedikit yang mengeluhkan perilaku atasan yang kerap memaki anak buah di depan umum sampai mencari kambing hitam dalam setiap permasalahan yang muncul. Ada juga atasan yang gemar sekali melakukan micro managing sampai-sampai anak buah pun sulit bergerak apalagi berkembang melalui proses pembelajaran.
Gejala-gejala ini tidak jarang muncul dari atas dan menurun sampai ke bawah hingga menjadi budaya di organisasi.
Misi mulia organisasi yang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan organisasi berkinerja tinggi ternyata malah membangun suasana mencekam, enggan mengambil risiko apalagi berinovasi dan pada akhirnya menciptakan turn over yang cukup tinggi.
Tony Schwartz dalam artikelnya di Harvard Business Review menyatakan, “building a culture focused on performance may not be the best, healthiest, or most sustainable way to fuel results. Instead, it may be more effective to focus on creating a culture of growth.”
Membalik perspektif: bertumbuh dulu, kinerja mengikuti
Tony Schwartz dalam artikelnya mengenai Growth Culture mengatakan, dengan membudayakan pertumbuhan, baik dari segi individual, kelompok, maupun organisasi, ini akan menghasilkan lingkungan kerja yang aman, proses belajar yang berkelanjutan, kegiatan eksperimen yang bisa terkelola dengan baik, dan kebiasaan memberi serta menerima umpan balik secara teratur.
Organisasi seperti ini juga akan menghargai pengambilan risiko yang dilakukan demi inovasi, kegagalan, atau kesalahan akan dilihat sebagai sebuah investasi pembelajaran.