Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Semua orangtua pernah kewalahan menjawab pertanyaan anak-anaknya pada masa mereka kecil dulu. Anak-anak dengan keingintahuannya yang besar, senang bereksplorasi dan bertanya kepada orang dewasa yang ditemuinya.
Pertanyaan mereka terkadang tidak dapat dipuaskan dengan satu jawaban saja. Pertanyaan “mengapa”, “kenapa begitu” kerap disampaikan menyambung jawaban kita sebelumnya.
Bisa jadi, dalam banyak situasi tersebut kita tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan mereka sehingga kita pun menampik pertanyaan tersebut. Padahal, kita juga tahu bahwa rasa ingin tahu anak-anak ini perlu didukung karena sangat penting untuk perkembangan kognitif mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal istilah “5 W +1 H” sebagai rumusan standar teknik bertanya. Yang sering tidak kita sadari adalah bobot yang terkandung dari masing-masing kata itu ternyata sangat berbeda. Apa, kapan, di mana, siapa, dapat dijawab dengan mudah karena mengarah pada penggalian fakta.
Lalu, pertanyaan “bagaimana” membutuhkan elaborasi yang lebih kompleks dari penjawab karena ia perlu menerangkan suatu proses hingga dapat dipahami oleh penanya. Namun, pertanyaan “mengapa” sering kali tidak dianjurkan karena terkesan menyudutkan pihak lain.
Padahal, melalui pertanyaan “mengapa” inilah kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai konteks permasalahan yang akhirnya bisa membuat penanya paham, bahkan bisa menumbuhkan empati yang lebih mendalam.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks, banyak individu dan organisasi cenderung terjebak dalam rutinitas dan tindakan tanpa benar-benar memahami tujuan yang mendasari tindakannya. Yang paling penting baginya bagaimana ia dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu dan mendapatkan kompensasi dari pekerjaan tersebut.
Padahal, sumber dari banyaknya konflik adalah akibat tidak adanya pemahaman yang jelas tentang motivasi dan tujuan dari tindakan yang diambil sehingga memunculkan salah persepsi.
Suasana tegang pun dapat terjadi akibat kesalahpahaman yang timbul sehingga tim kerja sulit mengarahkan diri untuk mencapai hasil yang lebih besar lagi.
Memulai dengan “mengapa”
Simon Sinek, pakar manajemen terkemuka, menyarankan, untuk memulai suatu tindakan, baik itu membangun bisnis baru maupun melakukan perubahan yang kecil sekalipun, kita mengajukan pertanyaan “mengapa” pada diri kita sendiri. Mengapa kita melakukan ini? Apa yang menjadi dasar bahwa hal ini perlu atau harus untuk dilakukan?