Mentalitas Silo

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Sebagai pelanggan, ada kalanya kita merasakan ketidakharmonisan hubungan internal pemberi jasa kita ketika komunikasi di antara mereka terasa tidak seamless.

Pelanggan merasa dipingpong sana-sini tanpa kejelasan informasi, bagian-bagian lepas tangan terhadap permasalahan pelanggan dan berharap pelanggan mengupayakan sendiri penyelesaiannya dengan menghubungi bagian-bagian yang berbeda sembari berulang-ulang menjelaskan permasalahannya. 

Tidak ada kesinambungan dalam layanan yang diberikan oleh organisasi. Padahal, pada masa kini, ketika kemajuan teknologi sudah begitu canggih, integrasi beragam proses seharusnya sudah menjadi standar organisasi. Inilah yang bisa kita sebut sebagai gejala “silo” dalam organisasi.

Arti harafiah silo adalah cerobong asap. Bila berada dalam cerobong asap, pandangan kita terhalang sehingga meskipun berada di tempat tinggi, kita tidak bisa melihat seluruh area secara menyeluruh.

Dalam organisasi mentalitas silo ini seolah-olah membutakan para pekerja terhadap apa yang dilakukan oleh divisi lain. Alih-alih ikut bertanggung jawab dan berkolaborasi, masing-masing hanya sibuk dengan ruang lingkupnya sendiri. Dengan demikian, orang juga tidak peduli terhadap big picture perusahaan, apalagi dampak perilaku mereka terhadap bagian lain.

Indikator silo

Kondisi silo boleh dibilang terjadi ketika komunikasi dan transparansi tidak lagi berjalan dengan mulus. Dengan komunikasi banyak dilakukan secara virtual, kondisi silo ini memang bisa tanpa disadari sudah berjalan tanpa terdeteksi.

Zaman dulu hal ini bisa terbaca dengan mudah ketika ada yang berkumpul tiba-tiba langsung menghentikan diskusinya ketika ada orang lain yang berusaha bergabung dalam pembicaraan. Sekarang, diskusi banyak terjadi secara virtual.

Bisa saja kita berusaha membuat komunikasi lebih transparan dengan membuat grup Whatsapp yang melibatkan semua orang. Namun, dengan mudah, bisa dibuat grup lain sehingga diskusi dalam grup pertama menjadi terlihat miskin sekali. Hanya berbagi informasi umum, padahal ada banyak inisiatif yang muncul dan sudah dijalankan tanpa proses diskusi dalam grup.

Gejala yang bisa dirasakan karyawan adalah adanya “us vs them mentality” di masing-masing divisi. Kita tahu bahwa ada masa ups and downs dari setiap divisi. Ada masa ketika satu divisi dikejar deadline ataupun sedang mendapatkan masalah besar.

Suasana tidak mau tahu permasalahan yang sedang dihadapi oleh divisi lain karena merasa beban kerja divisinya sudah cukup berat, mendorong timbulnya mentalitas us vs them. Tidak ada kebersamaan untuk menanggung beban yang ada ini dapat membuat karyawan merasa kesepian dan menimbulkan rasa tidak aman.

Umana Bali, LXR Rayakan Ulang Tahun Pertama dengan Perayaan Spesial Selama 3 Hari

Umana Bali, properti dari LXR Hotels & Resorts, baru saja merayakan ulang tahun pertamanya...

89% Generasi Milenial dan Gen Z Optimis pada Masa Depan

Meskipun Keduanya Mengkhawatirkan Pekerjaan, Pendidikan, dan KesehatanDi Indonesia, ketika berbicara terkait masa depan Generasi...

Kenalkan AI dalam Strategi Digital Marketing, MAXY Academy Gelar Webinar SEO dengan AI Gratis

Surabaya, 18 November 2024 – "SEO bukan hanya soal kata kunci, tetapi bagaimana kita...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here