Bangun konsistensi hingga terbiasa
Awal dari penelitian mengenai hubungan antara olahraga dan fungsi otak serta mental adalah pengalaman pribadi Suzuki sendiri. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota dan kesuksesan kariernya, ia merasakan kekosongan dan stress sehingga akhirnya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru.
Ia mendaftar pada kelas kickboxing di pusat kebugaran dekat rumahnya. Setelah melakukan beberapa kali latihan yang intensif, tubuhnya terasa lebih kuat, pikirannya lebih jernih, dan suasana hatinya mulai membaik.
Transformasi pribadi ini membangkitkan rasa ingin tahunya sebagai seorang ilmuwan—bagaimana olahraga bisa memiliki dampak sebesar ini pada otak dan mentalnya? Ia mulai melakukan beberapa eksperimen para mahasiswanya.
Mahasiswa yang awalnya mengantuk dan kurang bersemangat, tiba-tiba menjadi lebih terjaga dan aktif setelah membuka kelas dengan aerobik singkat. Interaksi mereka lebih hidup, dan pemahaman mereka terhadap materi kuliah meningkat dengan cepat.
Yang perlu diperhatikan dalam melakukan olahraga itu adalah mulai dengan target-target kecil yang memang bisa dicapai. Menetapkan target besar yang kelihatannya menantang bisa jadi malah menimbulkan rasa frustrasi ketika tidak tercapai dan membuat kita patah semangat.
Selain itu, temukan kegiatan yang memang menarik minat kita. Betapa pun gerakan-gerakan yoga terlihat keren, tidak semua orang menikmatinya. Ada yang mungkin lebih bersemangat untuk melakukan gerak zumba yang lebih dinamis. Menikmati kegiatan olahraga ini sangatlah penting karena kunci dari keberhasilan adalah konsistensi.
Hanya dengan gerakan fisik secara konsistenlah, olahraga berdampak pada kekuatan otak, memperbesar ukuran hipokampusnya. Betapa pun bagusnya sebuah olahraga, bila hanya dilakukan sesekali tanpa keteraturan akan sulit mendapatkan dampak yang diharapkan.
Mengubah mindset
Selain berolahraga secara teratur, Loretta Breuning penulis Habits of a Happy Brain menemukan cara-cara bagaimana kita dapat melatih otak untuk mengeluarkan zat-zat kimia yang dapat membawa kebahagiaan. Dalam penelitannya, ia melihat bahwa otak kita pada dasarnya berfokus pada skema bertahan hidup.
Otak kita tidak dirancang untuk menciptakan kebahagiaan. Ia bisa memproduksi zat kimia yang membuat kita bahagia, tetapi zat kimia tersebut bertujuan untuk bertahan hidup saja sehingga biasanya dilepaskan dalam jumlah kecil.
Produksi kortisol di otak memberikan informasi pada kita mengenai hambatan yang akan ditemui sehingga kita terdorong untuk mencari jalan agar merasa lebih baik.