Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Banyak dari kita yang mengagumi pemimpin-pemimpin bertipe one man show seperti Steve Jobs dan Elon Musk. Berita mengenai mereka sering masuk ke halaman-halaman utama di media. Masyarakat sempat bertanya-tanya, apakah Apple dapat meneruskan supremasinya ketika Steve Jobs wafat?
Terlihat bagaimana perhatian orang begitu terfokus pada pemimpin, bukan organisasinya. Siapakah yang tahu nama orang kedua di perusahaan Tesla? Sementara itu, apakah kita tahu nama founder dari Nike? Nike adalah contoh brand yang sangat kuat di dunia, tanpa perhatian yang berlebihan pada salah satu tokoh pemimpinnya.
Pemimpin seperti Steve Jobs dan Elon Musk adalah contoh pemimpin yang sukses membawa organisasinya menjadi yang terdepan. Namun, kita sadar bahwa tak ada sesuatu pun yang kekal. Berapa lama kharisma pemimpin akan bermanfaat bagi organisasinya? Dengan fokus yang hanya terpusat pada pemimpinnya, kesempatan melihat peluang-peluang lain otomatis berkurang.
Keinginan pemimpin selalu diprioritaskan tanpa ada yang berani mempertanyakan lagi. Apalagi bila ia memang begitu menikmati menjadi center of attention, baik di organisasi maupun di mata publik. Banyak pemimpin yang bahkan tidak menyadari bahwa gaya kepemimpinannya sudah berpola “one man show”.
Generasi muda yang bekerja di organisasi seperti ini sadar bahwa ia hanya memiliki dua pilihan: meninggalkan organisasi atau bersikap penurut saja ketika ada hal-hal yang tidak disetujuinya. Bisa jadi professional yang bertahan di perusahaan adalah mereka yang sudah “mematikan” keberaniannya untuk berinovasi dan fokus menjalankan operasional saja.
Gaya ini biasanya berasal dari para pemimpin yang membangun perusahaannya dari nol. Biasanya pemimpin yang jenius ini memiliki kemampuan menangani setiap masalah dengan cepat. Ia memang berbeda dari yang lain karena selain bervisi ke depan, ia dapat melakukan micro managing dengan sempurna.
Tanpa ia sadari, ketidakmampuan orang-orang di bawahnya untuk menyainginya adalah cikal-bakal kehancuran organisasi pada masa mendatang. Tanpa disadari juga, ia terbebani pengambilan keputusan operasional sehari-hari yang memang tidak dilepasnya sejak perusahaan berdiri karena ia terobsesi untuk terus memegang kontrol. Apa konsekuensi dari gaya manajemen seperti ini?
Tim manajemen tidak siap untuk ditinggal karena arahan semua keputusan penting masih bergantung pada sang pemimpin superstar ini. Pemimpin ini pun tidak bisa beristirahat dan selalu terganggu pada hal-hal yang operasional. Fenomena ini banyak terjadi pada perusahaan keluarga, pemimpin yang sekaligus juga pemilik perusahaan.
Ia yang terbiasa bekerja keras, mengalami susah senang membangun bisnisnya, kuat berintuisi, tahu sekali tentang apa yang ia impikan pada masa depan. Sementara itu, anak-anaknya tidak disiapkan dengan ruang yang cukup untuk belajar, membangun relasi, dan mengambil keputusan.
Profesional yang direkrut pun sering sengaja dibatasi informasinya karena kekhawatiran pemimpin kalau suatu hari mereka akan meninggalkan perusahaan. Menurut Family Business Institute, hanya 30 persen perusahaan keluarga yang bisa bertahan sampai ke generasi berikutnya.