Oleh Eileen Rachman Dan Emilia Jakob
Mendengar berbagai berita buruk di sekitar kita, mulai dari kejahatan yang kian di luar nalar, ulah para politisi wakil rakyat yang tidak beretika ataupun integritas, hingga bencana alam yang datang beruntun, acap kali membuat kita merasa down.
Kita merasa kehidupan tampak suram dan tidak ada daya untuk mengubah dunia. Bila perasaan ini kita pelihara terus-menerus, kemungkinan kita akan tumbuh menjadi seorang pesimis yang lebih banyak khawatir terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk daripada mempersiapkan agar kemungkinan terbaik dapat menjadi kenyataan.
Penelitian-penelitian mengenai psikologi positif membuktikan bahwa para pesimis biasanya berumur lebih pendek daripada para optimis. Ini disebabkan para pesimis lebih rentan terhadap stres dan akibatnya meningkatkan level kortisol yang menyerang sel tubuh yang penting bagi imunitas kita.
Akibatnya, kemampuan tubuh untuk berjuang melawan penyakit pun menjadi lemah. Sebaliknya, para optimis memiliki produksi hormon dopamin yang lebih tinggi yang dapat membuat mereka lebih bahagia dan termotivasi. Dopamin ibarat pemantik api di mesin mobil yang merangsang pembakaran.
Optimisme dapat menumbuhkan kualitas lain, seperti kreativitas, kekuatan pemecahan masalah, dan memengaruhi kerja tim. Pemimpin yang optimistis berfokus pada bagaimana menginspirasi pengikutnya untuk mencapai sasaran yang senantiasa lebih besar dari sebelumnya.
Tokoh dalam sejarah yang terkenal memiliki optimisme yang tinggi adalah Nelson Mandela. Ia ditangkap dan dihukum penjara seumur hidup karena aktivitasnya yang menentang rezim apartheid.
Namun, selama 27 tahun penahanannya, ia tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan di Afrika Selatan akan berhasil. Dalam kondisi yang sulit di penjara, dia memimpin para tahanan politik lainnya untuk tetap teguh dan tidak menyerah pada perjuangan mereka.
Puncak dari optimisme Mandela datang pada 1990, ketika Pemerintah Afrika Selatan akhirnya melepaskan dia dari penjara. Meskipun menghabiskan hampir tiga dekade di belakang jeruji besi, ia justru memilih jalur perdamaian dan rekonsiliasi untuk membangun negara yang lebih baik, bekerja keras menyatukan masyarakat yang pernah terpecah oleh perbedaan ras.
Pesimis, optimis irasional dan rasional
Bersikap optimistis tidak sekadar berharap pada hal-hal baik terjadi. Memiliki semangat dan menggantungkan harapan bahwa segalanya akan baik pada akhirnya dapat membuat kita menjadi seorang optimis yang irasional.
Apalagi bila kita menolak untuk melihat kenyataan mengenai hal-hal yang seharusnya diperbaiki untuk memastikan akhir baik itu benar-benar terjadi. Seorang optimis yang irasional mengabaikan data dan informasi yang menunjukkan bahwa mereka harus berubah, harus menyesuaikan produk mereka dengan kebutuhan pelanggan, harus melakukan berbagai usaha untuk merealisasikan harapan mereka.