Optimisme

Sebaliknya, seorang optimis yang rasional justru memiliki keseimbangan antara mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk ala si pesimis tapi tetap berharap akan kemungkinan yang terbaiknya si optimis.

Harapan akan hal-hal baik yang mungkin terjadi inilah yang memberikan si optimis energi dan kekuatan untuk melihat beragam celah yang dapat mereka lakukan untuk mencari solusi terbaik.

Seorang pesimis biasanya tidak memiliki kekuatan untuk berinvestasi pada solusi karena mereka sudah merasa hasilnya nanti tidak akan seperti yang ia harapkan.

Dalam menghadapi kegagalan, seorang pesimis cenderung menyalahkan dirinya sendiri yang semakin membuatnya terpuruk. Sementara itu, seorang optimis rasional berusaha untuk melihat alasan di balik kegagalan dan pelajaran yang dapat dipetik dari situasi tersebut untuk membuat langkah yang lebih baik pada kemudian hari.

Membangun optimisme rasional

Menurut John Medina, ahli biologi molekular, sikap positif akan mengawetkan kerja otak karena sikap optimistis bekerja seperti otot. Semakin banyak dilatih akan semakin kuat. Martin Seligman, pakar psikologi positif, juga mengusulkan beragam latihan yang dapat melatih kekuatan sikap optimistis dalam hidup kita.

Pertama, mengembangkan kebiasaan bersyukur. Rasa terima kasih ini perlu diungkapkan secara spesifik dan dilakukan secara berkesinambungan. Hal-hal apa yang kita syukuri pada hari ini?  

Hari-hari awal akan terasa mudah, kita bersyukur atas keluarga yang sehat, pekerjaan yang baik dan lain sebagainya. Namun, semakin hari akan semakin sulit bila kita menuntut diri untuk mencari hal-hal baru yang dapat kita syukuri.

Di sinilah kepekaan kita akan semakin berkembang, kita belajar untuk bersyukur pada banyak hal kecil yang mungkin selama ini kita terima begitu saja. Menurut Seligman, dengan rutin melakukan latihan ini, mental kita akan berubah menjadi lebih optimistis.

Kedua, dengan mengubah kebiasaan kita dalam berbahasa. Alih-alih mengatakan “saya harus” yang menunjukkan adanya otoritas tertentu yang membuat kita terpaksa harus melakukan sesuatu, kita ganti dengan kata-kata “saya mau”, “saya akan” yang menunjukkan bahwa kita memiliki kehendak bebas untuk menentukan dan mengontrol tindakan kita.

Bahasa memang berperan penting dalam pembentukan persepsi kita. Ketika mengatakan suatu isu sebagai masalah, kita akan cenderung berusaha menghindarinya karena masalah berkorelasi dengan kesulitan yang tidak menyenangkan.

Panduan Langkah Demi Langkah untuk Memulai Bisnis di Bali bagi Ekspatriat

Bali, dengan budayanya yang kaya dan ekonominya yang berkembang, telah menjadi tujuan utama bagi...

evomab Kenalkan Era Baru Smart Home Living di Showroom Homestory IDD PIK

Indonesia Design District (IDD) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) resmi dibuka pada 18 September...

Scavenger Haunt: Event Kreatif Mahasiswa Public Relations BINUS @Malang Sambut Binusian 28

Mahasiswa jurusan Public Relations universitas BINUS @Malang baru-baru ini mengadakan event Pre-Welcoming Binusian 28 yang berkolaborasi...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here