Paradoks Kekuasaan

Professor Dacher Keltner dari  UC Berkeley dalam penelitiannya selama hampir 20 tahun menemukan bagaimana seorang pemimpin yang awalnya terpilih karena karakter-karakter positifnya, seperti berempati, berkolaborasi, peduli pada yang lemah, di samping tentunya keterampilan memimpin, dapat berubah ketika kekuasaannya semakin lama semakin kuat.

Power yang tadinya digunakan untuk memengaruhi orang lain agar mengikuti visinya, berubah menjadi power untuk membuatnya mendapatkan privilege yang menurutnya menjadi haknya selaku pemimpin.

Keltner menyebut fenomena ini sebagai “the power paradox”. Dalam studinya, ia menemukan, mereka yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan kredensial sering kali lebih rentan kehilangan kendali nilai kebajikannya. Pernahkah Anda merasa tidak dianggap oleh penjaga toko barang bermerek ketika penampilan Anda seadanya saja?

Orang-orang kaya cenderung lebih tergoda untuk memanipulasi pajak daripada para karyawan biasa. Masyarakat pun cenderung bersikap skeptis ketika terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan keluarga pejabat ataupun tokoh publik yang memiliki harta berlebih.

Dalam penelitiannya, Keltner menemukan, para pemegang jabatan tinggi memiliki kecenderungan tiga kali lipat lebih besar untuk menginterupsi pekerjaan anak buah, melakukan multitasking sambil rapat, dan memberikan beragam pressure di lingkungan kerjanya. Bagaimana kita bisa menghindari situasi yang memabukkan sebagai pemilik kekuasaan yang powerful?

Refleksi pribadi

Satu hal yang perlu kita waspadai ketika menduduki jabatan adalah corruption of morality. Dimulai dari hal yang sederhana. Ketika masih “bukan siapa-siapa”, kita sering jengah melihat kepongahan pejabat yang mendapat pengawalan di jalan.

Namun, ketika mendapatkan jabatan penting, kita mulai merasa bahwa waktu kita sedemikian berharga untuk melakukan hal-hal yang lebih penting ketimbang dihabiskan untuk kemacetan jalanan.

Perlahan-lahan empati pun mulai berkurang karena kita tidak lagi hidup seperti rakyat biasa. Tanpa sadar, perspektif kita sebagai pemimpin pun semakin buram mengenai apa yang menjadi kebutuhan mereka yang kita pimpin. Perspektif yang tidak jernih ini membuat kita sulit menerka apa yang akan terjadi pada masa depan, dan pada akhirnya tidak bisa menavigasi arah perubahan.

Akibatnya, kita tidak berani mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan stagnasi dan merusak organisasi yang kita pimpin. Kita menjadi lebih self centered dan tidak lagi merasa bersalah bila melakukan tindakan yang tidak etis.

Diwali Mewah, Kedutaan Besar India Gelar Perayaan Megah!

Jakarta, 17 November 2024 – Hotel JW Marriott Jakarta menjadi saksi kemegahan perayaan Diwali yang...

Harga Emas Sentuh $2.600, The Fed Hambat Kenaikan Lebih Lanjut

Harga emas (XAU/USD) kembali menunjukkan pergerakan positif setelah berhasil menembus level $2.600 per ounce...

Penyaluran FLPP Capai 179.917 Unit Rumah hinggaa Oktober 2024: Program Perumahan untuk Masyarakat dan Inovasi Produk dalam Sektor Properti

Pencapaian penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga akhir Oktober 2024, yang telah mencapai...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here