Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Tahun baru biasa dirayakan secara meriah untuk membuka lembaran baru dan memberikan kesempatan baru dalam menggapai harapan-harapan yang mungkin belum tercapai pada tahun sebelumnya.
Banyak dari kita yang menyusun resolusi-resolusi kekinian untuk mencapai tujuan yang kita tetapkan pada tahun baru ini. Namun, sudahkah kita mempelajari serangkaian pengalaman, baik suka maupun duka, keberhasilan ataupun kegagalan dari tahun-tahun sebelumnya?
Bukankah kita perlu mempelajari sumber kesuksesan maupun kegagalan serta strategi baru? Apa yang akan kita lakukan secara berbeda pada tahun ini untuk menghindari kegagalan berulang dan meningkatkan potensi kesuksesan?
Segala pengalaman yang kita dapatkan pada tahun yang telah berlalu adalah bahan baku pertumbuhan yang memberikan pelajaran hidup. Lantas, apakah kita dapat dengan spontan menjawab pertanyaan mengenai apa pelajaran berharga yang kita dapatkan dari tahun yang lalu?
Dalam dunia yang bergerak cepat, kita sering terjebak rutinitas tanpa henti. Kita memenuhi tanggung jawab, mengejar target, dan menyelesaikan daftar tugas yang tak ada habisnya. Namun, waktu sangatlah konsisten, ia berjalan terus tidak mau tahu ataupun menunggu.
Apakah kita tetap terus menjalankan “business as usual” atau sadar dan berjaga-jaga mengantisipasi masa depan dengan mengevaluasi pengalaman masa lalu? Kita sering menyebut langkah ini sebagai refleksi diri.
Meski sampai terantuk di perjalanan, tidak semua orang siap melakukan refleksi. Padahal, tanpa refleksi, hidup kita bagaikan celengan yang tidak berisi, terlihat gembung, tetapi sebenarnya kosong. Sementara itu, refleksi yang mendalam bisa mengisi hidup kita dengan konteks, makna, dan arah.
Manfaat refleksi
Refleksi memberikan kita kesempatan untuk berfokus pada apa yang benar-benar penting untuk kita. “Memutuskan apa yang tidak boleh dilakukan sama pentingnya dengan memutuskan apa yang harus dilakukan,” kata Steve Jobs.
Ketika kembali ke Apple pada 1997 setelah dipaksa mundur pada 1985 dari perusahaan yang didirikannya itu, Jobs memutuskan bahwa beragam versi Macintosh yang diproduksi Apple saat itu adalah penyebab hampir bangkrutnya Apple. Dengan membuat Apple hanya fokus pada empat varian, ia menyelamatkan perusahaan.
Setiap tahun, Jobs juga mengajak manajemen terbaiknya untuk berefleksi mengenai sepuluh hal yang akan mereka lakukan berikutnya. Lalu mereka memilih hanya tiga peringkat teratas agar organisasi tetap dapat menjaga fokusnya. Dari berbagai refleksi yang dilakukan Jobs, ia percaya fokus adalah kunci utama organisasi dapat bergerak dengan lebih cepat.