Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Seorang pimpinan perusahaan adalah penunda nomor satu. Ia bisa saja menunda keputusan sampai waktu yang tidak terhingga. Keputusan dan implementasi yang sudah direncanakan pun bisa saja tertunda tanpa ada tenggat.
Ada pimpinan yang demikian banyak PR-nya sehingga ia sudah tidak tahu lagi berapa keputusan atau tugas yang sedang menunggu komandonya untuk dilakukan. Apakah ia sendirian?
Tidak. Di seputar kita, banyak orang yang melakukan penundaan, padahal keputusan yang perlu bisa jadi sangat penting menyangkut tidak hanya kepentingannya saja tetapi juga kepentingan orang lain. Artinya, kita banyak tidak diuntungkan gegara kebiasaan menunda ini.
Joseph R. Ferrari, seorang professor psikologi di DePaul University, berusaha mendalami gejala prokastinasi ini. Ia menemukan, 20 persen dari populasi orang dewasa memang memiliki kebiasaan menunda. Angka ini lebih tinggi daripada angka depresi, fobia, gangguan panik, dan bahkan ketergantungan alkohol. Namun, di mata masyarakat, mereka yang memiliki kebiasaan menunda ini tidak dianggap aneh, bahkan kita mungkin yang dianggap aneh bila membahasnya.
Jadi, apa yang dimaksud dengan prokrastinasi?
Prokastinasi bukanlah penundaan sesaat suatu pembicaraan karena kebetulan orang yang diajak bicara tidak ada, melainkan adalah penundaan yang dilakukan secara sengaja, padahal individu menyadari bahwa tindakan itu harus dilakukan segera.
Terkadang, kita bisa mengategorikan kebiasaan menunda ini sebagai tindakan irasional. Mengapa orang itu harus menunda sesuatu sampai menit terakhir atau bahkan melanggar tenggat? Padahal, tindakan ini dapat membawa dampak tidak hanya pada orang lain, tetapi juga organisasinya dan kemudian memunculkan rasa bersalah yang lebih dalam lagi?
Prof Ferrari menyebutkan ada tiga tipe prokastinator. Pertama, adalah thrill seeker yang memang suka dengan keadaan mepet dan tegang. Kedua adalah avoiders, yang menunda karena mereka menghindari penilaian orang lain dan yang ketiga, indecisive yang memiliki kesulitan untuk mengambil keputusan-keputusan rumit dan berpotensi menimbulkan konflik.
Ada beberapa hal yang harus kita ingat mengenai gejala menunda ini. Pertama, prokastinasi sama sekali tidak berkaitan dengan time management. Jadi, kalau kita menasehati seorang prokastinator untuk just do it, itu sama saja dengan menyuruh orang yang depresi untuk cheer up.
Prokastinasi ini juga bukan sekadar masalah kemalasan atau keengganan untuk bergerak karena masalahnya lebih dalam daripada sekadar bertindak atau tidak. Menurut para psikolog, masalah prokastinasi lebih merupakan masalah mekanisme coping.
Prokrastinator merasa tugas tersebut memberikan beban mental yang sangat besar baginya sehingga menundanya dan melakukan hal lain yang bisa memperbaiki mood sambil berusaha melupakan tugas tersebut.
Padahal, penundaan tidak membuat tugas tersebut hilang. Tugas itu tetap menunggu untuk ditindaklanjuti dan pada akhirnya membuat tingkat stres pun semakin besar karena masalah yang ditunda semakin lama semakin menumpuk bagaikan jalinan benang kusut yang semakin susah untuk diurai.
Yang menjadi berbahaya adalah ketika prokastinasi ini kemudian tumbuh menjadi kebiasaan individu, di mana proses tumbuh dan melekatnya sering tidak disadari oleh individu. Kita tidak menyadari tahap-tahap awal pembentukannya, tahu-tahu sudah menjadi bagian dari diri kita.
Berita baiknya adalah karena kebiasaan ini adalah hasil dari sebuah proses pembentukan, artinya ia pun dapat dihilangkan. Kita dapat menggunakan rasio untuk mengendalikannya. Kita dapat berlatih untuk mengatur emosi kita agar ia tidak lagi memiliki kekuatan besar untuk mengatur tindakan kita agar tidak terpuruk dalam stres yang lebih besar.
“Emotional regulation”
Sebenarnya, setiap orang yang sehat dan dewasa memang harus terampil mengatur emosinya. Otak kita bekerja seperti sebuah sistem navigasi. Bila tujuan tidak tergambar dengan jelas, sistemnya pun bekerja ekstra keras untuk mencapainya karena harus melalui perjalanan yang berputar-putar pada beberapa tujuan semu sebelum akhirnya sampai ke tujuan yang sebenarnya.
Jadi, kita perlu membiasakan diri untuk memulai hari dengan memprioritaskan hal-hal yang sangat penting untuk kita lakukan. Tanpa prioritas, otak kita akan tersesat. Bila ada pepatah yang mengatakan bahwa orang tidak bisa melihat hutan secara keseluruhan, tetapi hanya melihat pohonnya, seorang prokastinator jutru melihatnya terbalik. Ia hanya melihat hutannya saja, tanpa bisa melihat pohonnya.
Otak kita memiliki mekanisme fight or flight, mekanisme reaksi alamiah yang dimiliki manusia bila ada bahaya yang mengancam. Dalam kegiatan emotional regulation, kita perlu membantu otak untuk memperjelas musuh yang mengancam ini. Dalam situasi yang kompleks apalagi dalam kasus prokastinasi seperti ini, “musuh” emosinya tidak jelas terlihat.
Untuk itu, pertama, kita perlu memberi nama kepada rasa atau emosi yang kita khawatirkan, yang membuat kita melakukan penundaan tersebut. Misalnya, takut dianggap bodoh, takut salah, atau juga takut kalah. Bila individu dapat memahami dengan jelas apa sumber ketakutannya, otak dapat menyusun strategi mekanisme pertahanan dengan lebih fokus dan terarah. Kejelasan ini otomatis membuat kerja otak lebih ringan sehingga dengan sendirinya stres individu akan berkurang.
Kita juga perlu mendera diri kita untuk melihat kenyataan. Seorang prokastinator sering enggan melihat proses kerja atau tugas yang perlu ia kerjakan karena khawatir keterlibatan yang mendalam akan membawa masalah yang lebih besar lagi.
Bila kita ingin mendewasakan diri, kita harus belajar menghadapi kenyataan yang ada, antara lain dengan turun meninjau lapangan secara langsung, sehingga kita benar-benar tahu dengan pasti apa yang kita hadapi ketimbang hanya meraba-raba di dalam gelap.
Semua ini tentunya membutuhkan disiplin dan komitmen yang perlu dilakukan secara konsisten untuk merekonstruksi ulang kebiasaan yang sudah menetap ini. Jangan menunda.
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 21 Agustus 2021