Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Kita mungkin ingat pesan orangtua sewaktu kita kecil dulu, “Jangan pedulikan apa kata orang, maju saja terus.” Namun, semenjak kecil pula, kita sering mendengar komentar orang-orang tua di arisan ataupun pertemuan keluarga yang membahas sanak saudara yang menurut mereka berlaku tidak pantas.
Cemooh dari teman sepermainan pun mungkin kita dapatkan ketika mengenakan suatu barang atau bersikap tertentu yang tidak sesuai dengan situasi saat itu. Ini cukup menyakitkan. Bagaimana mungkin kita dapat mengabaikan penilaian orang lain terhadap diri kita?
Dalam peran media sosial saat ini, reputasi dapat kita peroleh dengan sengaja membentuknya atau biasa disebut sebagai pencitraan. Bisa juga tatkala ada rekan yang mengunggah sesuatu tentang diri kita. Semakin penuh sensasi unggahan itu, semakin cepat pula menarik perhatian pihak lain.
Bila zaman dahulu kekhilafan kita mungkin cepat terlupakan dari memori pihak lain, dengan adanya media sosial, jejak perilaku kita bisa berada di dunia maya untuk waktu yang sangat lama. Bagi mereka yang benar-benar mengenal kita, mungkin unggahan seperti itu tidak terlalu berdampak besar karena mereka mengenal sisi lain diri kita.
Namun, bagi orang yang baru mengenal kita ataupun rekan-rekan yang intensitas hubungannya tidak terlalu mendalam, unggahan yang mereka lihat akan membentuk reputasi diri kita dalam benak mereka. Ini bisa saja berpengaruh dalam interaksi hubungan kita dengan mereka.
Dalam situasi kerja sehari-hari, reputasi kita adalah bagaimana persepsi rekan-rekan kerja terhadap diri kita. Bisa saja kita melihat diri sebagai individu yang penuh perhatian kepada orang lain. Namun, bisa jadi pula rekan-rekan kerja tidak melihat diri kita seperti itu, bahkan kita dianggap sebagai individu yang tidak sabaran. Mana yang tepat? Kepribadian mana yang bermakna dalam interaksi sosial kita?
Tentunya, kepribadian sebagaimana persepsi orang lain terhadap kita, terlepas dari apakah kita mengakuinya atau tidak, karena orang lain akan bersikap pada kita sesuai dengan reputasi yang mereka pandang tentang diri kita. Ini artinya kita belum berhasil membentuk diri menjadi pribadi ideal sebagaimana yang kita sendiri harapkan.
Apakah kita dapat menerima reputasi kita secara legawa dan mengakui bahwa itulah yang dilihat oleh orang lain terhadap kita? Hal ini memang tidak mudah, apalagi bagi mereka yang sudah memiliki posisi dan “power”, untuk bisa terbuka menyadari bahwa dirinya di mata orang-orang tidaklah seperti yang ia pikirkan. Di sinilah letak kekuatan kepribadian kita.
Inilah yang sering disebut para ahli psikologi sebagai blindspots, sesuatu mengenai diri kita yang diketahui orang lain tetapi justru tidak kita ketahui. Menurut para ahli, blindspots ini bisa menjadi silent killer. Betapa tidak? Bila kita menutup mata, tidak memedulikan pendapat orang lain tentang diri kita, artinya kita membiarkan diri kita berkembang dalam gelap, tanpa upaya perbaikan. The danger is not knowing what your reputation is.
Setiap individu yang ingin berkembang perlu mempertimbangkan reputasinya, sambil menguatkan diri untuk mencapai mutu kepribadian yang lebih baik. Kita perlu memiliki prinsip mengenai apa yang baik dan benar bagi diri kita dan reputasi dapat kita gunakan sebagai pedoman, apakah di mata orang lain kita memang sudah menunjukkan prinsip pribadi yang kita inginkan itu.