Home Business Resilient, Kunci Bertahan dalam Menekuni Bisnis Kreatif

Resilient, Kunci Bertahan dalam Menekuni Bisnis Kreatif

0
Resilient, Kunci Bertahan dalam Menekuni Bisnis Kreatif
____ Photo by Magui Flores from Pexels

Resilience (resiliensi) adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Kata ini cukup penting mewakili isi buku “Kreatif Berbisnis Kreatif – 21 tahun merawat bisnis kreatif,” yang ditulis oleh perempuan mandiri yang kreatif serta multitalenta, Uti Rahardjo, pendiri sekaligus CEO Creative Centre Indonesia (CCI), suatu perusahaan konsultan marketing communication, yang diluncurkan di Jakarta, Sabtu (8/1).

Buku setebal kurang lebih 136 halaman ini, menceritakan suka duka, pengalaman memulai bisnis bersama tim dan sejumlah klien tingkat dunia dari wanita kelahiran Solo, Uti Rahardjo istri Rahardjo Satrio Unggul, dan juga ibu dari dua orang putra-putrinya. 

Bagi Laras Thyrza Amandari, putri dari Uti yang namanya digunakan sebagai brand batiknya, seorang Uti adalah sosok gambaran yang kuat dan figur independen, termasuk juga terbuka, vokal, dan selalu tahu apa yang diinginkannya. Di mana sifat-sifat ini juga biasanya tidak umum berlaku sebagai standar di kalangan wanita Indonesia.

Dicuplik dari bagian buku ini, Uti menggambarkan perihal daya tangguh, ”Sikap maju tak gentar ini kemudian diserap oleh armada kami, sehingga nilai yang terbangun sejak awal di Creative Center adalah ketangguhan.”

Resilience menjadi satu kekuatan yang membuat Creative Center bisa bertahan hingga lebih dari 20 tahun. Istilah yang sekarang populer adalah “G.R.I.T” (Guts, Resilience, Initiative dan Tenacity), yang berarti memiliki nyali, tahan banting, penuh inisiatif dan persisten.”

Hal yang menarik dari isi buku ini, selain bercerita secara mengalir, tanpa bermaksud menggurui, buku bernuasa “jeruk – oranye” ini memberikan pengalaman batin, bagaimana perjalanan karier Uti, lulusan Psikologi UI, yang sebelumnya “tidak percaya diri” membangun sejumlah bisnisnya, justru bangkit menjadi semakin percaya kemampuan dirinya, berpikir “solo” karena Creative Centre Indonesia (CCI) yang sebelumnya adalah Creative Centre, didirikan oleh hanya “seorang Uti” sebagai pemrakarsa.  

Selaras namanya, selama 21 tahun memimpin Creative Centre, suatu biro iklan yang lahir tanpa persiapan yang matang, justru akhirnya mampu meng-handle sejumlah klien di berbagai bidang mulai dari institusi perbankan; perusahaan (korporasi) swasta dan BUMN termasuk di dalamnya perusahaan bergerak di bidang otomotif dan transportasi; kebutuhan pribadi (personal care); LSM; produsen makanan jadi dan pangan kemasan serta produk olahan, resto; pengelola wisata belanja eceran; juga rumah sakit; lembaga pendidikan; dan masih banyak lagi.

“Proses menggarap buku ini, sekitar lima tahun karena saya selalu merasa ‘haus’ untuk terus menyempurnakannya, sampai akhirnya buku ini selesai dan dicetak di Jakarta, November 2021, ujar Uti yang sudah ‘kenyang’ belajar sambil praktek di sejumlah biro iklan ternama Indonesia macam BBDO, JWT Adforce, Saatchi & Saatchi Advertising, dan juga pernah bekerja untuk McCann Erickson,” jelas Uti yang kini juga menjadi pendiri perusahaan properti Griya Cinere Hijau dan juga galeri Batik Amandari.

21 Tahun Work from Home

Perempuan peraih Entrepreneurial Winning Women 2011 dari Ernst & Young dan penerima Anugerah Perempuan Indonesia (API) tahun 2012 dari Woman Review Magazine ini selama 21 tahun berkarir di CCI selalu melakukan pekerjaannya dari rumah. Namun dirinya bersyukur telah mampu beradaptasi dalam situasi rumah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan bekerja di kantor.  

“Pasti saya menghadapi tantangan yang sangat bertubi-tubi, termasuk di masa pandemi di mana banyak sektor usaha menghadapi banyak kesulitan. Begitu juga dengan kami, harus menghadapi tantangan yang dikhawatirkan dapat merontokkan kinerja yang sudah dibangun selama bertahun-tahun.

Itu sebabnya diperlukan kreativitas yang tinggi, untuk bisa survive membangun tim yang solid, mengatur cash flow perusahaan yang ketat, serta mempertahankan konsumen atau klien agar bisa terus beradaptasi, sehingga kita tetap dapat menghasilkan revenue yang signifikan. CCI telah melampaui masa pasang surut yang memperkaya hidup dengan pengalaman yang tidak ternilai harganya.

Salah satu buktinya, kendati mengaku sebagai bagian dari generasi digital-analog, namun Uti dan timnya yang juga didukung oleh mereka yang mulai memahami ranah digital dengan sejumlah aplikasinya, ternyata dapat membuktikan, jika CCI ternyata bisa bertahan di tengah situasi yang sangat kompetitif, dengan kemampuan anak muda dengan digital mindsetnya. 

Memiliki jiwa yang rendah hati sebagai warisan budaya dari para leluhurnya, Uti mengatakan bahwa menjalankan bisnis itu bukan merancang sesuatu secara sempurna, melainkan mengalir saja sebagai suatu proses. Business is not sains, not art, but practice, demikian jelas praktisi bisnis kreatif yang ingin membagikan pengalamannya dalam berbisnis kepada para generasi milenial, melalui goresan penanya dalam buku ini. 

Kendali Bisnis Melampaui Masa

Dalam derap waktu, Uti merasa menjadi generasi yang beruntung, menyaksikan dan memegang kendali bisnis melampaui masa di tahun 2000, di mana peran internet, komputer serta teknologi digital belum secangggih seperti saat ini. 

”Dengan modal pernah bekerja di berbagai perusahaan advertising selama lebih dari 10 tahun itu, saya memulai pendirian perusahaan Creative Centre setelah menang penawaran tender salah satu perusahaan perbankan asing di Indonesia.”

Mengaku banyak di-support oleh sejumlah sahabatnya, Uti ternyata memiiki asset knowledge yang cukup berharga, sampai para klien menaruh kepercayaan (trust) yang besar, sehingga kerjasama dengan mereka bisa berlangsung sampai bertahun-tahun, jelas pencinta batik yang gemar bermain piano ini. Kecintaannya pada musik, mungkin mengasah intuisi dan empati secara lebih baik dalam berbisnis.

By having the empathy saya juga mencoba leading the team dengan mengatakan kita harus memahami kebutuhan mereka (klien), karena mereka juga dihadapkan pada tantangan kompetisi yang tinggi. Jadi, etos kerja yang dibangun adalah solving problem (menyelesaikan masalah). Setelah saya belajar tentang creativity, ternyata creativity juga pada dasarnya bertujuan menjadi problem solving,“ papar Uti. 

Akhirnya sebagai “seorang dirigen” ia mampu menampilkan orkestra yang apik, sehingga sejumlah klien menaruh rasa percaya terhadap kapabilitas yang mumpuni pada diri Uti. Dirinya menjadi terbiasa untuk bekerja secara sangat cepat, mematuhi tenggat waktu yang ekstra ketat, untuk menghasilkan pekerjaan output yang sempurna.

“Tim kami itu digojlok oleh para klien melalui pembentukan gugus tugas (task force) yang sangat taktis, guna menjawab kebutuhan pasar. Dengan orientasi melayani (served) pada permintaan pasar yang sangat ketat, maka tim kami terlatih dengan tetap bekerja secara profesional. 

Kuncinya adalah “tidak pernah mengatakan tidak bisa” kepada klien, karena pada dasarnya kita tidak pernah tahu, mana yang benar-benar kita tidak bisa lakukan sebelum kita mencoba. Di situlah yang kemungkinan membuat CCI mampu survive dalam 21 tahun ini, mencoba dulu apapun tantangan yang ada di depan mata.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here