Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Seorang teman yang baru saja kembali bekerja setelah masa berkabung ditinggal suaminya, terkejut menjumpai karangan bunga di atas meja kerjanya. Mendiang suaminya memang biasa mengirimi ia bunga setiap minggunya. Ternyata, bunga itu dikirim oleh teman-temannya yang mengetahui kebiasaan mendiang suaminya itu. Hatinya yang kosong kembali menghangat oleh kasih sayang teman-temannya ini.
Welas asih, compassion yang kita rasakan, ternyata tidak hanya pelipur lara, tetapi juga bisa membangkitkan motivasi. Welas asih yang biasanya kita saksikan di rumah sakit, panti jompo, ternyata tidak hanya dibutuhkan di sana. Melalui kemampuan welas asih, kita dapat melihat manusia dari sudut lain. Kita melihat manusia sebagai bagian dari alam semesta sehingga biasanya kita pun melihat diri kita dari perspektif yang lebih humanis.
Membangun hubungan dengan orang lain adalah hakikat manusia. Sementara semenjak era teknologi berkembang demikian pesat, hubungan antarmanusia sering dinomorduakan setelah teknologi. Padahal, kreativitas, resiliensi, bahkan produktivitas banyak dipengaruhi oleh kualitas hubungan interpersonal kita.
Adam Grant, penulis buku-buku organizational psychology, mengungkapkan, kita sering berfokus pada deadline yang ketat, teknologi yang berkembang pesat, sehingga mengesampingkan silaturahmi di tempat kerja. Padahal, bila kita merasa terasing dari rekan kerja, pekerjaan pun akan kehilangan maknanya.
Melihat bahwa compassion memiliki dampak yang sangat kuat untuk meningkatkan sambung rasa di dalam kelompok kerja, bagaimana cara meningkatkan atau mengembangkannya?
Pertajam kemampuan menyensor penderitaan orang
Sering kali kita terlambat mengetahui bahwa ada rekan kerja, atasan, ataupun bawahan sedang menderita. Norma-norma profesional sering menyarankan agar kita memendam emosi, tidak membawa urusan personal kita di tempat kerja.
Akibatnya, orang sering tidak berani menyampaikan masalah rumah tangganya yang sebenarnya membuatnya susah. Tembok pemisah ini sering kali menjadi lebih tebal bila kita sebagai atasan atau rekan kerja tidak memberi tanda, baik secara fisik maupun psikologis, bahwa kita ada untuk mereka.
Bisa karena kita sedang sibuk pada pekerjaan atau karena keengganan membuka hubungan emosi atasan-bawahan. Contohnya, bila seorang atasan mengalami kesusahan karena anggota keluarga yang sedang sakit keras, apa yang ada di benak para bawahan? Bagaimana para bawahan menyatakan rasa iba mereka?
Terkadang mereka bingung dan sungkan untuk mengungkapkan kepeduliannya kepada atasan agar tidak terkesan mencari muka. Di sinilah kita perlu mengasah keterampilan berempati yang dapat meningkatkan sambung rasa dan membuat hubungan atasan bawahan semakin kuat.