Pada kesempatan yang sama, Pameran Gemah Ripah juga menjadi wadah untuk Sarirasa Group meluncurkan buku komik wayang edisi terbatas “Riwayat Pandawa & Dewa Ruci: The Ending Saga Between Good & Evil” yang dipandu oleh Andy Wijaya. Acara ini tidak hanya mempromosikan kuliner, tetapi juga melestarikan budaya tradisional melalui media modern.
Didukung oleh tokoh budaya seperti Seno Gumira Ajidarma, Iwan Gunawan, dan Dzulfikar Isham, peluncuran ini menekankan pentingnya menjaga cerita tradisional agar tetap hidup. Melalui inisiatif ini, Sarirasa Group menunjukkan komitmennya dalam melestarikan warisan budaya Indonesia dan menginspirasi generasi muda untuk menghargainya.
Keajaiban Wastra, Seni Lukis Kaca Terbalik, dan Wayang Tionghoa-Jawa
Sarirasa Group mengajak peserta untuk mendalami keajaiban Wastra Indonesia, yang tidak hanya memiliki makna budaya yang mendalam tetapi juga relevan dengan misi Sarirasa dalam melestarikan warisan Indonesia.
Dipandu oleh William Ingram, Founder Threads of Life, sesi ini menjelaskan bahwa seperti halnya Sarirasa yang berusaha mempertahankan cita rasa autentik dalam setiap hidangan, Wastra juga mempertahankan nilai-nilai tradisional yang kaya melalui setiap helai kain yang ditenun.
Namun, tantangan tidaklah sedikit. Para penenun tradisional menghadapi kesulitan dalam mengakses pasar global. Ingram mengupas strategi-strategi yang bisa diambil untuk mengatasi hambatan ini, serupa dengan upaya Sarirasa Group dalam memperkenalkan kuliner Indonesia ke pasar internasional. Melalui inisiatif Sarirasa Origin, Sarirasa tidak hanya berfokus pada aspek kuliner tetapi juga pada pelestarian dan promosi budaya.
Komitmen Sarirasa dalam melestarikan budaya tidak berhenti di situ. Diskusi berlanjut dengan seni lukis kaca terbalik Indonesia, dipandu oleh Hermawan Tanzil dan Chabib Duta Hapsoro dari LeboYe yang membahas teknik artistik dan makna budaya di balik setiap karya, memperlihatkan betapa pentingnya seni dalam mencerminkan identitas budaya.
Sarirasa Origin bertujuan memastikan bahwa setiap elemen seni tradisional ini tetap hidup dan dihargai oleh generasi mendatang.
Selanjutnya, perhatian tertuju pada kebangkitan wayang Tionghoa-Jawa pasca 1965, dipandu oleh Dwi Woro Retno Mastuti dari Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Cinwa) dan Ki Aneng Kiswantoro. Diskusi ini menggali dalamnya dampak iklim politik pada tradisi wayang dan bagaimana seniman berjuang mempertahankannya.