Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Memasuki Idulfitri, rasa rindu semakin berkecamuk dalam diri kita. Momen yang biasanya selalu kita tunggu-tunggu untuk bisa berkumpul kembali dengan keluarga besar setelah sekian lama berpisah karena kesibukan bekerja.
Namun, demikian kita juga perlu realistis dengan bahaya wabah penyakit yang masih terus mengintai sehingga mau tidak mau kita harus menahan kebutuhan silaturahmi ini.
Dengan adanya Covid, hal-hal yang biasanya kita sepelekan, seperti hubungan dengan orangtua atau sahabat menjadi terasa lebih mendalam karena terbatasnya kesempatan untuk bertemu. Kita juga menyadari betapa selama ini interaksi dengan anggota keluarga ternyata minim sekali karena kesibukan masing-masing.
Semua ini membuat interaksi pada saat sekarang lebih disadari dan disyukuri. Tanpa disadari, pada masa pandemi ini, aspek sosial dari kehidupan kita ternyata adalah aspek yang paling sulit dikelola.
Sekarang, muncul istilah domestik abuse yaitu kita yang dulu kangen rumah, sekarang merasa terkurung di rumah meskipun tidak ada kurungan secara fisik.
Hal ini membuat lagi-lagi kita akan mencari kesempatan untuk bertemu dengan orang di luar rumah, entah di kantor ataupun kunjungan ke keluarga besar apalagi orang tua. Semua orang rindu untuk berinteraksi, berkumpul, dan bersilaturahmi.
Harapan akan berlalunya masa pandemi ini terus silih berganti. Vaksinasi yang tadinya terlihat memberi angin segar untuk bisa pulang kampung berkumpul bersama keluarga, tiba-tiba pupus dengan munculnya larangan ketat untuk bepergian melihat kondisi mutasi virus yang juga semakin berbahaya. Kondisi yang serba tidak pasti ini menyebabkan semakin sulitnya kita mengelola hubungan interpersonal.
Walaupun dapat berhubungan secara elektronik, tetap saja tatap muka sangat kita butuhkan, apalagi dengan mereka yang dekat di hati, seperti keluarga kita.
Dalam kondisi seperti ini, alangkah baiknya kita menata hubungan interpersonal dengan memperhitungkan segala keterbatasan yang ada.
Mengharapkan situasi segera berlalu hanya membuat kita tidak melakukan upaya optimal untuk mendapatkan yang terbaik dari apa yang bisa kita upayakan. Tanpa upaya ini, kesehatan mental kita pun akan terancam.
Banyak lembaga kesehatan mental memberikan aneka saran yang dapat membantu meningkatkan intensitas hubungan kita, antara lain adalah belajar meningkatkan keterampilan menggunakan beragam perangkat elektronik untuk berhubungan dengan orang lain, di samping juga dengan serius meluangkan dan mengatur waktu untuk berhubungan dengan teman dan keluarga.
Banyak orang mengakui, berhubungan secara elektronik memang memungkinkan kita untuk melakukan multitasking, seperti hadir di dua rapat atau mendengarkan ceramah sambil tetap melakukan chatting.
Sementara itu, sebenarnya untuk mendapatkan hubungan yang berkualitas, kita harus bisa be present pada saat berhubungan dengan orang lain.
Artinya, kita perlu benar-benar memperhatikan lawan bicara kita ketika sedang berinteraksi dengan mereka, baik keluarga, orangtua, anak, pelanggan, maupun anggota tim kita. Kita juga perlu meningkatkan keterampilan mendengar dengan sepenuh hati untuk benar-benar memahami.
Ingat, kesempatan berhubungan dengan orang lain tidak sebebas seperti masa sebelum pandemi. Oleh karena itu, kita perlu memanfaatkan setiap kesempatan berhubungan dengan sebaik-baiknya. Kita pun harus memperbaiki cara kita berkomunikasi sehingga dapat lebih didengar.
Pada dasarnya, cara berkomunikasi sangat penting dalam meningkatkan kualitas hubungan, sementara komunikasi ini adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari agar menjadi lebih baik.
“Stay connected”
Memang berhubungan melalui teks, telepon, bahkan video call, tidak seratus persen memuaskan. Namun, kabar lebih lanjut mengenai apa yang terjadi di tempat yang kita rindukan cukup dapat menjadi pelipur lara manakala tangan tidak lagi sanggup menjangkau.
Kita menjadi lebih tersambung satu sama lain. Ini adalah waktu ketika anak-anak muda bisa menjadi lebih akrab dengan senior mereka sambil mengajarkan penggunaan internet untuk berinteraksi.
Di sebuah kampung di Jawa Tengah, seorang ibu yang berusia 90 tahun dapat menulis e-mail-e-mail panjang kepada putra-putrinya menceritakan apa saja yang dialami serta mengirimkan resep-resep masakan Lebaran andalannya agar mereka tetap dapat merasakan suasana lebaran di rumah, melalui surat elektronik ini.
Kerinduan kita untuk tetap tersambung pun dapat dilakukan melalui bergabungnya kita dengan gerakan-gerakan mendukung mereka yang sakit dan menderita ataupun mengalami kesulitan ekonomi.
Di sini, selain menemukan kesamaan rasa, kita dapat membuat hidup terasa lebih bermakna. Mungkin kita tidak bertemu muka, tetapi kesamaan rasa ini pasti membangkitkan rasa hangat juga.
Ciptakan kepastian
Keteraturan sebenarnya dapat mengobati rasa galau sebagai akibat rindu yang melanda ini. Kepastian akan jadwal rutin untuk melakukan kontak, akan menjadi suatu momen yang dinanti-nantikan dan mengurangi rasa galau kita dalam situasi yang serba tidak pasti seperti sekarang.
Bahkan sekadar pesan rutin selamat pagi yang setiap hari dikirimkan oleh kerabat kita pun akan menjadi suatu rutinitas. Tanpa sadar, kita menantikan setiap kali kita membuka telepon genggam pada pagi hari karena secara tidak langsung pesan tersebut mengabari bahwa mereka dalam keadaan baik-baik saja.
Benahi diri
Kita perlu menyadari, berjuta-juta manusia lain mengalami hal yang sama dengan kita. Ini memang tahun keterpisahan bagi semua orang. Hal paling utama yang dapat kita kerjakan adalah mengatur diri sendiri. Riset mengatakan, semakin kita merasa terkurung, semakin kita berkonspirasi dan berpikiran negatif.
Kita lebih mudah menghakimi orang atau berasumsi bahwa orang berpikiran negatif ke kita. Tetap banyak bergerak, pergi ke udara terbuka merasakan kesegaran alam dan mensyukuri apa yang masih kita miliki dapat mendorong kita membahagiakan diri sendiri.
If you’re rekindling a relationship right now, make sure it isn’t just to distract you from working on yourself. – Sean Davis PhD
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 15 Mei 2021