Pesantren untuk Membangun Jiwa Masyarakat
Dalam rangka memperingati 1.000 hari wafatnya Marsekal Muda (Purnawirawan) Teddy Rusdy, pihak keluarga mengadakan serangkaian acara. Dimulai dengan nyekar ke makam tokoh militer tersebut yang berlokasi di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata hingga memperkenalkan Pesantren Siti Dhumillah yang berlokasi di Cijeruk, Bogor, Jawa Barat.
Peninggalan terakhir Teddy Rusdy ini diwujudkan oleh sang istri, Sri Teddy Rusdy atau yang lebih dikenal dengan sapaan Sri Tardjo.
“Sambil bersimpuh di hadapan Mas Teddy yang siap diberangkatkan ke pemakaman, saya akan melanjutkan cita-cita mendirikan pesantren yang sudah kami rintis, tapi terhalang bermacam kendala. Janji itu, saya wujudkan pada hari ini, hari keseribu wafatnya Mas Teddy,” ucap Sri Teddy Rusdy.
Mbak Sri, begitu Ibu dua putra ini biasa disapa, terkenang pada suatu masa di tahun 2009. Saat itu, sambil berdiri di depan Masjidil Aqsa, ia meminta sang suami agar jangan hanya fokus pada bisnis-bisnisnya.
“Saat itu, saya mengajak Mas Teddy berbicara tentang ‘enough is enough’. Saya sendiri telah melakoni ‘enough is enough’ sejak tahun 1997. Saya mulai mensyukuri dan menikmati hidup, serta mempertinggi kepekaan sosial seraya mendedikasikan lebih banyak hidup untuk mengurusi pembangunan ‘dunia batin’,” ujarnya.
Mbak Sri dan sang suami yang akrab disapa banyak pihak sebagai Pak Teddy memang tidak pernah memasuki pendidikan pesantren.
Tapi, menurut Mbak Sri, mereka telah menjadi santri. Jika, menggunakan definisi Nurcholis Madjid melalui bukunya “Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999)” di mana santri berasal dari kata dalam Bahasa Jawa cantrik yang berarti orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya.