Bayangkan ketika situasi ini terjadi di organisasi, apalagi dilakukan oleh mereka yang duduk dalam posisi yang cukup tinggi. Pimpinan yang merasa sudah memiliki pengalaman paling banyak, mendapatkan kesuksesan demi kesuksesan hingga posisinya sekarang, menampilkan sikap yang sangat percaya diri dalam memberikan pendapatnya.
Padahal, kita tahu bahwa ilmu berkembang terus, situasi berubah terus. Apa yang mungkin berhasil pada masa lalu belum tentu berhasil diterapkan di situasi saat ini. Apa yang benar dalam konteks yang satu belum tentu benar dalam konteks yang berbeda.
Namun, dengan posisi dan sikap dominan yang ditunjukkan oleh pemimpin ini, anggota tim dan bawahan pun bisa jadi enggan untuk mengingatkan ataupun membantahnya. Padahal, dalam jangka panjang, kondisi ini tentunya merugikan bagi organisasi. Apalagi orang-orang seperti ini pun biasanya memilih dekat dengan anggota tim yang mendukung pendapatnya ketimbang mereka yang berani melawannya.
Karena ia tidak dapat memahami kekurangan dari kompetensinya sendiri, argumentasi perlawanan dari anggota tim lain dapat dianggap sebagai penyerangan terhadap pribadinya. Inilah mengapa lebih banyak orang yang memilih diam dan menghindari konflik.
Dunning juga menyebutkan bahwa individu seperti ini tidak memiliki cukup metakognisi untuk mengambil jarak danmelihat diri sendiri dan hubungannya dengan orang maupun situasi lain, untuk dapat membuat penilaian yang lebih objektif. Perspektifnya yang pendek membuatnya sangat subyektif dalam menilai dirinya.
Mengatasi Efek Dunning-Kruger
Untuk menjaga agar kita bebas dari bias ini, diperlukan kombinasi kesadaran diri dan kerendahan hati bahwa apa yang kita ketahui saat ini mungkin saja salah. Langkah yang terdengar sederhana ini sesungguhnya sangat sulit untuk dilakukan.
Alih-alih sibuk memberikan penjelasan dan alasan, mampukah kita mengakui bahwa gaya bekerja kitalah yang tidak terstruktur? Apakah kita mengakui bahwa kita membuat banyak pekerjaan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan lebih cepat jadi tertunda?
Kebanyakan dari kita sulit untuk membuka kesadaran diri karena ini berarti mengakui bahwa kita salah. Kemudian, situasi ini juga menuntut kita harus berubah agar tidak terus-menerus melakukan kesalahan tersebut. Meskipun kita sering berharap ada perubahan dari rutinitas yang dapat menghasilkan kebosanan, sebenarnya manusia adalah makhluk kebiasaan yang enggan untuk berubah.
Richard P Feynman, seorang fisikawan paling berpengaruh abad ke-20 yang disebut oleh Oppenheimer sebagai the most brilliant young physicist mengatakan, “As I get older, I realize being wrong isn’t a bad thing like they teach you in school. It is an opportunity to learn something.” Sebagai individu, kita perlu sadar akan keterbatasan pengetahuan kita dan berusaha untuk mengembangkan diri terus.
Bagi Feynman, lebih menarik untuk hidup dalam ketidaktahuan ketimbang berpegang pada jawaban yang mungkin saja salah. Mengakui bahwa selalu ada ruang untuk belajar akan membantu mengembangkan sikap yang lebih rendah hati.