Edward Tirtanata sedang menjalankan bisnis ruang teh tradisional bernama Lewis & Carroll di Jakarta saat ia menyadari ada celah di pasar yang melibatkan minuman lain, yakni kopi. “Indonesia adalah eksportir kopi terbesar keempat di dunia, namun memiliki konsumsi kopi terendah per kapita,” katanya.
Tirtanata melihat, semua ini terjadi karena tidak seperti Dunkin Donuts di Amerika Serikat atau Ya Kun Kaya Toast di Singapura, kepulauan Asia Tenggara tidak memiliki “rantai kopi besar dan terjangkau” yang melayani selera lokal.
Jadi ketika Edward dan James Prananto mendirikan Kopi Kenangan pada tahun 2017, mereka memfokuskan pada satu misi tunggal: untuk menjadi operator kedai kopi terbesar bagi orang-orang di Indonesia. Sejak itulah, perusahaan ini mengoperasikan 80 toko di delapan kota di seluruh negeri dan melayani 1 juta cangkir per bulan.
Investor pun memperhatikan perkembangan Kopi Kenangan setelah mereka merambah “ritel baru” untuk strategi keseluruhannya. Pendekatan ini mirip yang dipopulerkan oleh bisnis Cina seperti Luckin Coffee dan Hema, unit supermarket teknologi milik Alibaba.
Fore Coffee menggalang pendanaan seri A, Kopi Kenangan juga menerima US$20juta dari Sequoia Capital India.
Beberapa bulan setelah kompetitor mereka Fore Coffee –perusahaan ritel baru lainnya– menggalang pendanaan seri A, Kopi Kenangan juga menerima US$20juta (sekitar Rp284 miliar) dari Sequoia Capital India untuk mempercepat pertumbuhannya.
Mengapa brand yang “norak” berhasil di Indonesia
Tirtanata mendirikan Lewis & Carroll pada 2015 sepulangnya ia dari studi di AS. Dia mengutip penulis Inggris, C.S. Lewis dan Lewis Carroll yang menulis serial The Chronicles of Narnia dan Alice in Wonderland sebagai inspirasi untuk nama bisnis pertamanya, yang juga memiliki toko online.
Tetapi sekitar dua hingga tiga bulan setelah diluncurkan, Tirtanata merasa sulit untuk menarik pelanggan. Branding yang diperkenalkan, kenangnya, “terlalu mewah,” dan butuh banyak upaya pemasaran untuk mengubahnya menjadi bisnis yang berkelanjutan seperti sekarang.
Untuk usaha keduanya, ia memutuskan “untuk menciptakan merek yang cocok untuk banyak orang.” Kuncinya adalah menyajikan minuman yang terjangkau dengan rasa yang menarik bagi mayoritas.
“Orang Indonesia pada umumnya suka minum sesuatu yang rasanya lembut, manis, dan seperti susu. Itu juga yang menurut kami terjadi dengan tren bubble tea, yang tumbuh dengan cepat,” jelas Tirtanata.
Produk terlaris Kopi Kenangan adalah ramuan kopi susu buatan sendiri dengan rasa manis berasal dari gula aren. Dijuluki Kopi Kenangan Mantan, segelasnya dihargai Rp18.000, atau sekitar US$1,30. Sebagai perbandingan, latte ukuran tinggi di Starbucks harganya Rp42.000 atau US$3, dua kali lipat lebih mahal.
Agar aman, perusahaan asal Indonesia ini juga menyediakan varian latte, tetapi harganya lebih murah yaitu Rp24.000 (sekitar US$1,70). Mereka juga memberi pilihan lain termasuk minuman nonkopi, seperti teh susu dan Kopi Baileys, turunan kopi Irlandia.
Pencitraan lokal juga melekat pada branding ramah milenial yang diusung oleh Kopi Kenangan. “Kopi Kenangan” itu sendiri berarti “kopi yang mengandung kenangan” sementara “mantan” yang menjadi nama minuman unggulannya berarti “ex“, alias mantan pacar.
Bahkan kata Tirtanata, di hari pertama penjualan, mereka bisa menjual 700 cangkir dengan hampir tidak ada upaya pemasaran. “Orang-orang melihat namanya, mereka terhibur, dan kemudian mereka mencoba. Mungkin karena branding ‘kelas rendah’, orang-orang tidak takut minumannya jadi mahal.”
Popularitas itu membantu pemasaran. Tirtanata mengklaim bahwa biaya pemasaran Kopi Kenangan hanya kurang dari 1 persen dari volume barang dagangan brutonya. Terutama biaya untuk mencetak bahan promosi tradisional seperti spanduk untuk pembukaan toko.
Mereka juga menawarkan diskon, tetapi terbatas hanya pada saat peluncuran toko saja dan itu hanya menghabiskan sekitar 2 persen dari GMV.
“Kami tidak ingin dikenal sebagai kedai kopi yang memberikan banyak diskon,” katanya. “Karena itu akan menarik pelanggan jenis yang salah, dan merek kamu akan terdilusi.”
Kopi Kenangan memiliki aplikasi seluler yang memungkinkan orang untuk mencari toko terdekat, memesan di awal, dan membayar minuman mereka menggunakan GoPay, OVO, atau kartu kredit (tergantung peraturan, mereka akhirnya berencana mengembangkan e-wallet sendiri).
“Pengiriman online berkembang pesat, sekitar 50 persen dari pendapatan, online-to-offline akan menjadi hal yang baik,” kata Tirtanata.
Menurut Tirtanata, pre-order meningkatkan pengalaman pelanggan secara keseluruhan, karena antrian panjang bisa berarti kehilangan penjualan. Tetapi yang lebih penting, aplikasi ini berfungsi sebagai tulang punggung dari strategi perusahaan, yang terinspirasi dari industri e-commerce Cina.
Aplikasi Kopi Kenangan dikembangkan saat mereka mengantongi pendanaan ventura pertamanya sebesar US$8 juta (sekitar Rp113,6 miliar) dari perusahaan Indonesia Alpha JWC Ventures pada Oktober 2018.
“Saat itu, pengiriman online kami berkembang pesat, menghasilkan sekitar 50 persen dari pendapatan, dan kami menyadari bahwa online-to-offline akan menjadi hal yang baik,” kata Tirtanata. “Saat itulah kami memutuskan untuk melakukan penggalangan dana.”
Berinvetasi pada pertumbuhan
Tentu saja, Tirtanata bukanlah satu-satunya pengusaha yang mengamati bahwa ada sesuatu yang hilang di kancah perkopian Indonesia. Setelah cukup lama didominasi pemain ritel internasional seperti Starbucks, The Coffee Bean, dan Tea Leaf, pemain lokal kini muncul dalam beberapa tahun terakhir.
Ada yang menyajikan kopi lokal, seperti Toko Kopi Tuku dan Kedai Kopi Kulo, serta pemain kopi spesial gelombang ketiga seperti Tanamera Coffee dan Common Grounds, yang menargetkan pelanggan yang lebih makmur.
Fore Coffee, salah satu pesaing terdekat Kopi Kenangan, juga mengoperasikan aplikasi dengan paten milik sendiri. Mengacu pada model Luckin, Fore mendapatkan US$9,5 juta (sekitar Rp134,9 miliar) dalam pendanaan seri A Januari lalu. Dan pada pertengahan 2019, mereka tumbuh menjadi hampir 60 gerai yang melayani 300.000 cangkir kopi per bulan.
Konon, ada perbedaan di antara keduanya. Contohnya adalah pendekatan masing-masing perusahaan terhadap teknologi.
Fore memilih untuk mengembangkan aplikasinya secara internal (ia memiliki tim teknologi sejak hari pertama), sedangkan aplikasi Kopi Kenangan pada awalnya dialihdayakan ke perusahaan perangkat lunak. Namun, setelah putaran pendanaannya, Tirtanata mengatakan bahwa startup ini akan membangun departemen teknologinya sendiri.
Yayasan teknologi Fore yang lebih kuat mengarah ke fitur-fitur seperti integrasi API dengan pihak-pihak seperti GoJek dan Grab. Ini memungkinkan pengguna membuat pesanan pengiriman langsung melalui aplikasi Fore, yang menciptakan pengalaman pengguna lebih mulus dan melekat.
Sementara, aplikasi Kopi Kenangan terbatas pada pesanan untuk dibawa pulang. Untuk melakukan pesanan pengiriman, pengguna harus melalui GoFood dan GrabFood.
Perusahaan juga menargetkan segmen pasar yang berbeda. Meski tumpang tindih dalam hal pemilihan produk, Fore menargetkan pelanggan yang lebih kelas atas, sebagaimana dibuktikan oleh harga yang lebih tinggi: secangkir Americano dihargai Rp35.000 (sekitar US$ 2,50)–setara dengan harga Starbucks–sementara minuman yang sama di Kopi Kenangan harganya hanya Rp15.000 (sekitar US$1,10).
Harga yang lebih rendah memungkinkan Kopi Kenangan untuk menarik segmen pasar lebih besar, meski itu juga berarti persaingan langsung dengan rantai bisnis seperti Toko Kopi Tuku dan Kedai Kopi Kulo.
Tetapi kedua perusahaan tersebut bukan pemain “ritel baru”, sehingga menghalangi mereka dari pendanaan usaha.
Tirtanata tidak keberatan dengan kompetisi, selama startup-nya mencapai tujuan menjadi pilihan nomor satu untuk kopi yang terjangkau. Sama seperti bagaimana orang menyamakan ayam goreng dengan Kentucky Fried Chicken.
“Membangun merek itu tidak mudah. Tentu, kamu dapat membeli mesin kopi, membuka kedai kopi, dan menjualnya melalui GoFood, tetapi apakah itu akan menjadi pilihan nomor satu pelanggan? Belum tentu,” lanjutnya. “Kami hanya akan terus melakukan apa yang kami lakukan.”
Pendekatan Tirtanata tampaknya mencerminkan pengalamannya dalam industri makanan dan minuman. Dibandingkan dengan Fore, aspek teknologi Kopi Kenangan mungkin kurang penting untuk keberhasilannya.
“Luckin Coffee adalah inspirasi bagi kami untuk melakukan penggalangan dana,” katanya.
Tapi Tirtanata juga mendapat ide dari “rantai bisnis bubble tea, yang tumbuh dengan cepat dan berkonsep ramah terhadap pembelian untuk dibawa pulang,” jelasnya. “Dengan warung berukuran antara 10 hingga 30 meter persegi, biaya sewa hanya sepersepuluh dari kafe normal.”
Untuk tetap bertahan, mereka harus menghadapi tantangan potensial seperti konsistensi produk dan manajemen sumber daya manusia. Saat ini, ada hampir 700 karyawan, 100 di antaranya adalah barista.
“Kopi merupakan kebutuhan sehari-hari, dibandingkan dengan kategori minuman lain seperti teh keju, misalnya,” ujar Tirtanata.
Pendanaan dari Sequoia akan mendukung investasi teknologi Kopi Kenangan. Selain mempekerjakan tim teknologi internal, perusahaan akan memperoleh lebih banyak mesin kopi dan ekosistem software untuk pelatihan barista serta meningkatkan inventaris.
Tetapi tujuan utamanya adalah untuk terus berkembang secara agresif. Startup ini menargetkan membuka 150 toko pada akhir 2019, 500 pada akhir 2020, dan 1.000 pada Desember 2021.
“Apa yang kami sadari tentang kopi adalah bahwa ia merupakan kebutuhan sehari-hari, dibandingkan dengan kategori minuman lain seperti teh keju, misalnya,” ujar Tirtanata.
Penemuan lain adalah bagaimana ekspansi tidak mengarah pada “kanibalisasi apa pun” karena bahkan ketika perusahaan mendirikan lebih banyak toko, “pertumbuhan penjualan toko yang sama terus meningkat,” tambahnya.
Sementara itu, Kopi Kenangan saat ini dalam kondisi untung dan berniat untuk tetap seperti itu. “Kami berencana untuk menghasilkan keuntungan di masa mendatang, dan mudah-mudahan kami dapat terus menghasilkan keuntungan,” tegas Tirtanata.