Ia menambahkan minimnya edukasi dari keluarga, sekolah, dan lingkungan memperburuk situasi ini. “Kurangnya pengetahuan dasar mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang aman di rumah dan di sekolah memberikan celah bagi remaja untuk mencoba hal-hal berbahaya, termasuk penyalahgunaan obat. Perlu keterlibatan banyak pihak, bukan hanya keluarga, tetapi anggota masyarakat, pemerintah juga sekolah untuk memberikan edukasi terkait penggunaan obat yang bijak sejak usia dini,” jelasnya.
Namun, sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab masih tetap ada dan mencari kesempatan penyalahgunaan. Apabila peredaran obat dibatasi tentu salah satu konsekuensinya mempersulit akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Pada praktiknya, untuk membatasi penyalahgunaan obat, sering kali dilakukan upaya penegakan hukum berupa razia terhadap apotek di beberapa tempat, namun, langkah ini pun tidak lepas dari problema.
Noffendri Roestam menilai razia sebenarnya tidak tepat dilakukan pada apotek dan toko obat. “Apotek dan toko obat beroperasi dengan regulasi dan dalam pengawasan dinas kesehatan dan balai POM daerahnya, sehingga jika ada pelanggaran tentunya yang menindak adalah kedua badan tersebut di daerah masing-masing. Karena itu razia yang dilakukan di apotek dan toko obat, sama sekali tidak tepat. Apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan diskotek atau tempat nongkrong yang ada kemungkinan penyalahgunaan, kenapa harus dilakukan razia?”
Ia juga menambahkan, “Jika kita tilik lebih dalam tentang bagaimana cara oknum mendapatkan obat untuk disalahgunakan, umumnya bukan di distributor resmi, melainkan pengedar obat tidak resmi atau malah gelap, mungkin itu yang harusnya jadi fokus penindakan, bukan razia ke sarana distribusi kefarmasian.”
Di dalam siniar ini, ketiga pembicara sepakat bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan ini, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan semua pihak dan memperhatikan berbagai faktor yang mencakup beberapa strategi.
Seperti edukasi kepada masyarakat secara komprehensif agar meningkatkan pengetahuan tentang pedoman swamedikasi dan penggunaan obat yang aman, percepatan dan penyederhanaan proses izin apotek untuk memastikan akses masyarakat di seluruh wilayah Indonesia untuk swamedikasi, dan pemerataan infrastruktur kesehatan seperti sarana pelayanan kefarmasian dan tenaga kefarmasian.
Sumbangsih setiap elemen masyarakat dibutuhkan agar solusi yang berkelanjutan bisa berdampak luas.
“Harapannya solusi yang diberikan harus sustainable. Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang kita hadapi. Dengan pendekatan kolaboratif, Indonesia diharapkan dapat menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan untuk seluruh lapisan masyarakat,” pungkas Noffendri. (*)