Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Dalam berbagai rapat kerja akhir tahun ini, kata transformasi dan inovasi banyak bergaung menjadi kata kunci. Semua orang berkeyakinan bahwa inovasilah yang akan membuat kita dapat terus berpacu dalam kompetisi. Oleh Karena itu, semua pimpinan menyerukan kepada anak buahnya untuk terus-menerus berfokus pada inovasi.
Namun, banyak karyawan yang memiliki semangat menggebu-gebu dalam berinovasi juga mengalami kebingungan bagaimana harus memulainya ketika mereka membandingkan diri dengan para start-up yang kreatif dan lincah.
Bisa kita bayangkan jalan pikiran yang tadinya dibentuk untuk selalu mematuhi standar operasi, sekarang justru dipaksa untuk mempertanyakan praktik-praktik yang ada, berpikir out of the box, dan menemukan solusi-solusi baru. Innovate or die kata orang.
Untung saja, banyak perusahaan sudah menjalankan pelatihan dan sosialisasi untuk menanamkan pemahaman bahwa kita dapat berinovasi dalam segala bidang. Inovasi tidak terbatas pada produk baru saja. Proses bisnis yang dibuat lebih singkat, lebih customer friendly, juga dapat disebut inovasi.
Toko yang tadinya dijaga oleh pramuniaga, yang terkadang membuat pelanggan risih karena terus-menerus menempel pada pelanggan dengan maksud dapat cepat membantu pelanggan bila dibutuhkan, mengalami transformasi secara digital dengan menyusun panduan mengenai letak display produk, keterangan mengenai spesifikasi produk sehingga pelanggan bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan dengan cepat.
Manajemen yang tadinya birokratis sekarang sudah menyediakan sistem pengumpulan ide dan pendapat dari lapangan. Perusahaan yang sebelum ini mengandalkan reputasinya yang besar sekarang merasa perlu memasarkan diri dengan lebih agresif dan kreatif.