Tahun Baru, Kebiasaan Baru

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Pada pergantian tahun seperti ini, banyak yang sibuk membuat resolusi untuk tahun depan dengan beragam targetnya. Namun, berdasarkan pengalaman tahun-tahun lampau, kita semua menyadari banyak resolusi-resolusi tersebut yang akhirnya berguguran di tengah jalan.

Pernahkah kita menganalisis apa penyebabnya? Apakah begitu sulitnya mengubah kebiasaan hidup kita menjadi pola baru? Misalnya, kebiasaan merokok setelah makan atau melewati tenggat perjanjian menjadi contoh kebiasaan buruk yang tidak asing lagi.

Apa yang membuat kita sulit lepas dari kebiasaan seperti itu meski sudah tahu bahwa kebiasaan itu tidak efektif bagi kehidupan kita? Apakah akibat pembenaran-pembenaran yang kerap kita ucapkan pada diri sendiri untuk membuat kita merasa lebih baik setiap kali gagal keluar dari kebiasaan tersebut?

Sekitar 43 persen dari seluruh tingkah laku kita sebenarnya terdiri atas kebiasaan yang dilakukan secara otomatis. Jadi, bila ingin mengubah perilaku kita menjadi lebih efektif, sebaiknya berfokus pada kebiasaan-kebiasaan yang ingin kita hilangkan. Bagaimana caranya?

Apakah kebiasaan itu?

Kebiasaan adalah perilaku rutin yang diulang-ulang hingga muncul di bawah kesadaran. Sering kali kebiasaan ini sudah mengakar sampai bisa memengaruhi mekanisme fisiologis individu. Seseorang yang memiliki kebiasaan merokok, bila berhenti secara tiba-tiba, bisa mengalami keringat dingin dan tubuh gemetar.

Benjamin Gardner PhD mendefinisikan kebiasaan sebagai tingkah laku yang muncul pada situasi spesifik, yang merupakan repetisi dari tingkah laku yang lalu dan memuaskan individu. Banyak ahli yang menyarankan agar kita memperhatikan kebiasaan kita karena hal ini juga memengaruhi level kebahagiaan kita.

Kumpulan kebiasaan juga dapat menggambarkan kepribadian kita. Orang yang terbiasa memotong omongan orang lain dan berfokus pada kepentingan dirinya cenderung muncul pada pribadi-pribadi yang dominan. Bayangkan bila ia tidak menyadari hal ini, bagaimana perilaku-perilaku ini memengaruhi kualitas relasi dan kepemimpinannya.

Anatomi kebiasaan

Ada tiga unsur dari kebiasaan, yaitu trigger, routine, dan reward. Mindless eating, misalnya, dipicu oleh rasa bosan atau cemas pada awalnya.

Ketika merasa bosan atau cemas, kita mencari camilan atau sesuatu yang bisa dikunyah dan kemudian merasa nyaman setelah mengunyah karena bisa menyalurkan rasa bosan atau kecemasan itu pada kegiatan mengunyah. Karena terjadi berulang-ulang, tubuh membuat pola di bawah sadar yang secara otomatis mencari makanan ketika sedang merasa bosan atau cemas.

Sebagaimana kita bisa membentuk kebiasaan buruk, kebiasaan baik pun bisa pula kita bangun. Namun, lepas dari kebiasaan buruk menuju yang baik memang membutuhkan usaha dan niat lebih besar. Sebab, sebelum kebiasaan yang baru terbentuk, kita harus memecah dan keluar dulu dari kebiasaan lama. 

BINUS University Naik 20 Peringkat se-Asia dalam Pemeringkatan QS World University Rankings Asia

Jakarta, 6 November 2024 - BINUS UNIVERSITY, sebagai Perguruan Tinggi Indonesia berkelas dunia mengucapkan...

Mengapa Startup Perlu Mendirikan PT di Awal Perjalanan Bisnis?

Di era ekonomi digital yang terus berkembang, semakin banyak startup muncul dengan ide-ide inovatif...

Fera Maishara dan Jeffry Samuhara : Dari Padang Panjang ke Jakarta, Perjalanan Mahasiswa ISI Menembus Dunia Digital Marketing

Fera Maishara dan Jeffry Samuhara , mahasiswa Institut Seni Indonesia Padang Panjang membagikan pengalaman...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here