Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Bila kita bertanya kepada para pemimpin organisasi, baik sektor riil maupun pemerintahan mengenai apa aset terpenting baginya, tanpa ragu, ia bisa menjawab: manusia. Namun, apakah pada kenyataannya manusia yang ada benar-benar dikelola secermat mereka mengelola aset lainnya sehingga siap digunakan saat dibutuhkan?
Mungkin jawabannya tidak secepat itu bisa diberikan. Di depan mata saja kita bisa dengan gamblang melihat bagaimana kaderisasi presiden tahun 2024. Berbagai opini bertebaran di masyarakat, dengan keraguan masing-masing terhadap setiap calon yang ada. Situasi ini juga terlihat pada banyak institusi dan perusahaan.
Sebuah institusi pemerintah yang sangat penting telah mempersiapkan rangkaian program pendidikan yang komprehensif untuk para calon pemimpinnya. Dengan hati-hati, mereka memilih modul-modul pengembangan diri sampai kepada tim pengajarnya. Namun, ternyata persentase individu yang benar-benar siap untuk menjadi pemimpin masih relatif terbatas.
Dalam sebuah organisasi dengan puluhan ribu pegawai pun hal ini terjadi. Ketika membentuk sebuah unit baru, sulit sekali mencari orang yang dapat dipercaya mengembangkan unit tersebut.
Dengan puluhan direktur dan manajer yang mereka miliki, jumlah individu yang dapat diandalkan dan siap untuk memangku jabatan baru tersebut sangatlah sedikit. Yang berkembang malah gejala cerji (cecer siji), istilah untuk orang-orang yang dinilai kompeten, terus menerus dibebankan pekerjaan tambahan lain.
Mudah dikatakan, sulit dilakukan
Kita mengenal istilah Peter Principle, yaitu seseorang mendapatkan kenaikan pangkat karena masa kerja ataupun prestasi di posisi sebelumnya. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Prof Laurence J. Peter dari University of Southern California, merujuk kepada suatu situasi karyawan yang dipromosikan atas kesuksesan pada masa lalunya tiba-tiba terlihat tidak lagi kompeten lagi.
Ternyata, keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses dalam pekerjaan barunya itu sangatlah berbeda dengan pengalamannya pada pekerjaan yang sebelumnya.
Kondisi ini sering kita temui dalam banyak organisasi. Para senior dengan posisi dan tanggung jawab besar ternyata mengalami kesulitan untuk memimpin, mengarahkan timnya untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih besar karena tidak adanya kejelasan tuntutan manajemen pada awalnya.
Sementara di perusahaan seperti GE, individu yang akan dipromosikan harus melewati sebuah ujian core value based yang semakin tinggi posisinya akan semakin kompleks. Bila tidak lolos ujian, ia bisa-bisa ditawarkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan.
Strategi “talent” yang tajam dan jelas
Mungkin tidak banyak perusahaan seperti Group Astra yang tidak pernah kekurangan calon eksekutif. Bahkan, para top performers bersaing untuk mendapatkan posisi yang menantang dan sulit. Banyak perusahaan yang sukses tanpa strategi yang jelas. Perusahaan-perusahaan ini memang beruntung.
Manajemen tidak berpikir jauh ke depan, hanya menerapkan strategi jangka pendek. Oleh Karena itu, mereka juga tidak berpikir mengenai suksesi atau pemimpin masa depan yang akan terus membangun perusahaan.
Karyawan merasa berada di daerah abu-abu karena tidak adanya kejelasan terhadap key behaviour apa yang diharapkan. Semuanya dilakukan berdasarkan trial and error. Tulisan mengenai visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan memang ada, tetapi tidak diterjemahkan dalam tingkah laku yang nyata. Ketidakjelasan ini membuat para talent tidak memiliki pegangan.
Di sisi lain, ada juga perusahaan yang memiliki sistem yang sudah sedemikian baku sebagai hasil dari perjalanan panjang kesuksesan mereka. Hal ini dapat membuat pemimpin terlena dengan rasa aman dan keyakinan bahwa perusahaan tidak akan terguncang oleh keadaan apa pun.
Complacency seperti ini sangat berbahaya, karena tidak adanya sikap what if di benak setiap pimpinan. Mereka terbiasa dengan sikap “that’s the way we’ve always done it”.
Padahal, kita tahu, sekarang perubahan terjadi demikian cepat. Kita menjalani kehidupan dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Namun, merubah sikap dan mindset untuk berubah secepat tuntutan lingkungan, belum tentu dilakukan oleh semua pimpinan, apalagi ketika mereka belum melihat ancaman bahaya yang mengintip kelangsungan organisasi mereka.
Di sinilah pimpinan gagal untuk membuat organisasi yang agile dan adaptable. Anak-anak muda yang bersemangat untuk mencari insipirasi, menginginkan sesuatu yang berbeda, perlahan-lahan akan berhenti untuk mengajukan pendapatnya.
Tidak tumbuhnya top talent bisa juga disebabkan karena sistem reward yang tidak tajam sehingga yang tidak berprestasi mendapat kurang lebih sama dengan yang berprestasi. Perusahaan khawatir melakukan rocking the boat. Penilaian kinerja yang dilakukan secara berkala hanya dianggap sebagai formalitas biasa dan diisi dengan setengah hati, baik oleh atasan maupun para bawahan sendiri. Perusahaan ibarat hutan belantara yang tak tentu mata anginnya.
Situasi ini dapat menyebabkan turunnya motivasi di mana orang yang tadinya bersemangat merasa tidak tertantang lagi. Star performer akan mencari kesempatan lain yang lebih menantang, sementara yang tertinggal adalah mereka yang mediocre, tidak hebat, tetapi juga tidak jelek sekali.
Individu yang tidak kompeten tidak terdeteksi, sementara mereka yang potensial tidak mendapatkan bimbingan dan pengembangan yang tepat, yang dapat menempanya menjadi pemimpin pada masa mendatang. Reskilling dan upskilling tidak bisa dilaksanakan dengan tepat.
Dari situasi situasi di atas, kita melihat betapa penyediaan dan sustainabililty dari sebuah talent pool memang perlu digarap cermat dengan segala konsekuensinya. Begitu kita melihat adanya potensi, berikan challenge yang tidak ada hentinya, seperti pendidikan kilat, rotasi jabatan, proyek-proyek menantang, ujian dan pengukuran berkala, serta mentoring yang tiada henti.
Seberapa pun berbakatnya seseorang, tidak ada garansi bahwa dia akan menjadi top talent di perusahaan tanpa bimbingan dan pelatihan yang menempanya.
EXPERD, HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 11 September 2021