Tarif, Inflasi, dan Suku Bunga: Trump di Tengah Pusaran Tantangan Ekonomi

Dengan inflasi yang masih bertahan di level 3%, kebijakan moneter saat ini kemungkinan besar akan tetap dipertahankan tanpa adanya pemangkasan lebih lanjut dalam waktu dekat.

Bagi investor yang bergelut dalam aset berisiko seperti saham dan kripto, harapan mereka adalah suku bunga dapat terus turun hingga ke level 2,5%, atau dengan kata lain, pemangkasan tambahan sebesar 200 bps dari posisi saat ini.

Suku bunga yang lebih rendah akan memberikan dorongan bagi pasar keuangan, meningkatkan likuiditas, serta memperkuat daya beli konsumen. Namun, kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Donald Trump, khususnya terkait penerapan tarif impor, berpotensi menggagalkan skenario tersebut.

Jika kebijakan tarif yang agresif terus diterapkan, bukan tidak mungkin The Fed justru akan mengambil langkah sebaliknya, yaitu menaikkan kembali suku bunga untuk mengendalikan dampak inflasi yang timbul akibat kebijakan proteksionis tersebut.

Pengenaan tarif terhadap beberapa mitra dagang utama, termasuk negara-negara yang telah lebih dulu terkena dampaknya seperti Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Kolombia, ditambah dengan ancaman tarif baru terhadap Uni Eropa, dapat memperburuk kondisi inflasi.

Negara-negara yang masuk dalam daftar tarif AS menyumbang sekitar USD $1,7 triliun terhadap total impor AS pada tahun 2024, yang setara dengan 6% dari Produk Domestik Bruto (GDP) AS.

Jika kebijakan ini terus berlanjut atau bahkan berkembang menjadi perang dagang yang lebih luas, dampak terhadap harga barang dan jasa akan semakin besar. Hal ini tentu akan menjadi pukulan bagi investor yang berharap suku bunga terus turun, karena inflasi yang kembali meningkat dapat memaksa The Fed untuk kembali mengetatkan kebijakan moneter.

Salah satu kebijakan kontroversial Donald Trump yang berpotensi mendorong inflasi adalah rencana deportasi massal pekerja imigran ilegal di Amerika Serikat.

Sebagian besar pekerja ini berasal dari kawasan Amerika Tengah dan memasuki AS tanpa dokumen resmi, tinggal melebihi izin yang diberikan (overstay), atau menyalahgunakan dokumen visa mereka.

Para imigran ini umumnya menerima upah lebih rendah dibandingkan pekerja warga negara AS, sehingga banyak bisnis bergantung pada tenaga kerja mereka untuk menekan biaya operasional. Keberadaan pekerja dengan bayaran lebih murah memungkinkan perusahaan menawarkan harga barang dan jasa yang lebih terjangkau bagi konsumen.

Mau Download Video TikTok? Ini Cara Paling Mudah, Gratis, & Cepat!

Mengunduh video TikTok bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pelajari satu per satu metode tersebut...

PastNine: Jagoan Baru Rocketindo, Sebarkan Aroma Kemewahan Penuh Ambisi

Industri kecantikan dan personal care di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang pesat, dengan proyeksi...

Vortex Merilis Permainan Interaktif di IIMS 2025 Bersama Mitsubishi Indonesia

Vortex, perusahaan teknologi yang berbasis di Yogyakarta, mengumumkan kolaborasi strategis dengan Mitsubishi Motors untuk...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here