Kendati kelengkapan elemen kunci tasrih ketakutan lengkap tersedia, namun film ini menurut saya tak sepenuhnya berhasil sebagai karya yang utuh tersebab dua hal.
Pertama, dialog yang masih berjuntai-juntai panjangnya, salah satunya antara Sita dengan Pak Wahyu (Slamet Rahardjo), seorang penghuni rumah jompo. Jokan terlalu sibuk menjelas-jelaskan cara pandang diametral keduanya tentang siksa kubur melalui perbincangan formal layaknya diskusi dua pakar di ruang seminar. Jokan (seakan) lupa dengan film sebagai karya yang menjunjung tinggi prinsip ‘show don’t tell’.
Kelemahan kedua, yang lebih signifikan, menyangkut referensi keislaman yang tampaknya tak dikonsultasikan seksama oleh Jokan kepada ahli fikih jenazah. Itu terlihat pada posisi jenazah Wahyu yang telentang dan papan-papan kayu yang dibariskan di atas lobang kubur sebagai penutup sebelum ditimbun tanah, tidak sesuai dengan penjelasan empat mazhab fikih dalam Islam.
Tiga mazhab fikih (Hanafi, Syafi’i, Hambali) mewajibkan posisi tubuh jenazah dimiringkan ke arah kanan dengan posisi wajah menghadap kiblat (jihhatul qiblah), sedangkan mazhab Maliki menyebutkan posisi jenazah seperti itu mustahab (sunnah).
Namun, para ulama keempat mazhab bersepakat bahwa posisi jenazah tidak boleh telentang. Jika terjadi seperti itu, maka makam harus digali kembali dan posisi mayat disesuaikan dengan aturan.
Begitu juga dengan posisi papan-papan kayu sebagai penutup. Jika mayat sudah dimiringkan, lalu di bagian punggungnya diganjal dengan bola-bola tanah sekepalan tangan, maka papan-papan kayu dipasangkan secara diagonal sehingga membentuk sisi miring segi tiga di dalam liang lahat bukan dibariskan di atas lubang kubur seperti terlihat beberapa kali pada adegan film.
Dua hal di atas, dalam praktiknya sudah (dan selalu) dipraktikkan oleh para penggali kubur di pemakaman mana pun di tanah air. Artinya, ketidakcermatan Jokan dalam mengeksekusi posisi jenazah di liang kubur itu merupakan kesembronoan yang mengkhawatirkan dalam kapasitasnya sebagai sutradara senior.
Pemeran utama
Mungkin bagi sebagian penonton, hal itu tidak masalah. Bahkan boleh jadi akan ada pertanyaan balik, “Apakah untuk sebuah feature film yang mengizinkan imajinasi sutradara masuk dalam memperkuat cerita (dan mengokohkan efek dramatis), bukan film dokumenter yang taat aturan, termasuk aturan fikih, akurasi posisi jenazah tetap harus diperhatikan?”
Menurut saya: ya! ‘Licencia poetica‘ dan privilese sutradara tidak berlaku dalam hal ini.