Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Setiap tempat kerja dirancang dengan tujuan mendapatkan produktivitas yang optimal dalam setiap lini bisnis. Ada yang merasa, kantor dengan kubikal yang menjaga privasi setiap karyawan adalah yang terbaik. Ada juga yang menganut konsep open office, yaitu semua karyawan berada dalam sebuah ruangan terbuka sehingga setiap orang yang perlu berkomunikasi dengan lebih cepat menjangkau rekannya. Pengawasan pun menjadi lebih mudah.
Namun, tiba-tiba Covid-19 datang. Hampir dalam semalam dunia kerja pun berubah. Gedung perkantoran ditutup dan organisasi diminta merumahkan karyawannya.
Meskipun instansi pemerintah dan banyak organisasi sudah mulai kembali ke kantor, aktivitas perkantoran belum seluruhnya pulih. Masih banyak yang belum mendapatkan vaksin. Virus yang bermutasi juga semakin mengkhawatirkan karena yang sudah bervaksin pun belum terjamin aman dan angka penderita belakangan ini semakin meningkat.
Hal ini membuat banyak karyawan yang berharap bisa tetap bekerja dari rumah meskipun mereka merindukan kebersamaan di tempat kerja.
Riset yang dilakukan oleh perusahaan Owl Labs, menunjukkan, bahwa tingkat happiness karyawan yang bekerja remote ternyata lebih tinggi 22 persen dibanding dengan mereka yang harus berkantor penuh. Bahkan, ada 47 persen karyawan berpikir untuk meninggalkan perusahaannya bila tidak diberikan pilihan bekerja di rumah.
The future is hybrid
Pada Mei 2020, Twitter mengumumkan, karyawannya memiliki kebebasan untuk work from home tanpa batas waktu. Sebulan kemudian, Mark Zuckerberg menyatakan, Facebook memberikan kesempatan bekerja 50:50 antara rumah dan kantor dalam 10 tahun mendatang.
Google memberi kesempatan karyawannya untuk bekerja secara remote sampai September 2021. Microsoft mengumumkan hasil risetnya, 66 persen dari perusahaan-perusahaan yang menjadi respondennya berencana untuk merancang lingkungan kerja hybrid. Work is no longer a place. It’s all about what you do—not necessarily where you do it from.
Perusahaan mau tidak mau harus menerima keyakinan, bekerja dapat dilakukan di mana saja. Bahkan, ada yang membuktikan, bekerja dari rumah lebih produktif karena para pekerja dapat berfokus kepada hal yang benar-benar dianggap penting.
Selain itu, dengan penetapan bekerja secara hybrid ini, karyawan berkesempatan untuk merasakan dua pengalaman, baik di dalam kantor maupun di luar kantor. Karyawan yang bekerja di sebuah area coworking dapat bertemu dengan orang dari perusahaan lain sehingga membuka wawasan mereka tentang dunia luar.
Sudah waktunya kita memisahkan pembahasan antara di mana karyawan melakukan pekerjaannya dan bagaimana mereka melakukannya. “Di mana” sudah tidak lagi mempengaruhi aset perusahaan. “Bagaimana” yang lebih penting dan dapat menjadi aset perusahaan.
The hybrid model office
Masih ada lembaga atau perusahaan yang merasa, tatap muka itu penting. Namun, ancaman virus yang masih di depan mata dengan klaster kantor yang meningkat, memaksa kita juga mempertimbangkan bekerja secara remote.
Sudah waktunya kita memperhitungkan untuk membuat kantor dengan model hybrid. Model kantor hybrid tentunya membawa konsekuensi tertentu.
Pendekatan management by wandering around (MBWA), yang membutuhkan tatap muka sulit dipraktikkan. Namun, management by results akan lebih cocok karena kita bisa memantau kinerja melalui hasil kerja anak buah.
Bila trust sudah menjadi nilai penting di organisasi, dengan melaksanakan hybrid office, kita perlu mengembangkan nilai super trust. Perusahaan perlu tetap menggariskan kualitas dan mengembangkan semangat moral yang positif, lepas dari di mana karyawannya bekerja. Untuk itu, dalam merancang hybrid office, kita perlu menggariskan beberapa prinsip sebagai berikut.
Pertama, masalah availability karyawan. Seorang atasan perlu memiliki harapan yang jelas mengenai keberadaan mereka. Ada yang menuntut setiap karyawan harus available dalam jam kerja. Ada yang dengan tegas mengatakan, dalam jam kerja, setiap karyawan harus merespons semua pesan dalam jangka waktu maksimum 15 menit.
Ada juga yang mempersyaratkan agar setiap karyawan harus “setor muka” minimal 1- 2 kali dalam seminggu. Kejelasan seperti ini akan membantu menciptakan rasa aman bagi karyawan maupun manajemen.
Kedua, kita perlu menciptakan bentuk kolaborasi, pengembangan, dan rekognisi yang jelas. Kita perlu mencari cara agar setiap karyawan tetap kompak bekerja dengan timnya, tetap terkendali, dan bisa berkolaborasi dengan atasannya. Karyawan perlu tahu, bahwa kerja keras tetap terdeteksi dan mendapatkan reward.
Kehadiran atasan di tengah karyawan juga sangat penting. Menyapa setiap individu dalam absen pagi setiap hari, meraba perasaan, semangat, dan motivasi mereka merupakan cara atasan untuk tetap terhubung sekalipun tidak bertemu fisik.
Hal ini justru lebih dimungkinkan pada hybrid office daripada tempat kerja tatap muka. Hubungan kerja seperti ini perlu dijaga dalam satu playing field. Semua perlu berada di layar secara utuh, bukan separuh-separuh, sebagian di ruang rapat dan sebagian di layar masing-masing.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah konsistensi dalam memelihara in person connection.
Apa pun alasannya, setiap orang yang bekerja remote pasti sesekali merasa kesepian dan merindukan kegiatan kantor. Motivasi akan tetap terjaga bila atasan melakukan pendekatan personal. Dalam kegiatan hybrid, kegiatan ini bahkan lebih mungkin dan bisa sering dilakukan secara konsisten.
Selain itu, learning, bonding, dan teambuilding juga perlu diciptakan secara kreatif, sehingga playing ground ini terasa bisa disentuh oleh setiap orang. Kita bisa membuat happy hours virtual, yang benar-benar ditujukan untuk sosialisasi dan tidak berkaitan dengan urusan kerja sama sekali.
Tempat kerja hybrid tidak terbangun dengan sendirinya. Kita perlu benar-benar menyusun strategi kegiatannya, dan mendukung bila terjadi kesulitan dalam pelaksanaanya. Tidak mudah membuat semua orang on the same page.
EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 3 Juli 2021