Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Tidak dapat dimungkiri, salah satu tujuan manusia bekerja adalah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, membiayai kenyamanan gaya hidupnya, dan tujuan-tujuan lainnya. Banyak yang tidak segan berpindah tempat kerja manakala mendapatkan penawaran yang hanya sedikit lebih tinggi dari apa yang dimilikinya saat ini.
Namun, bila uang menjadi tujuan utama seseorang bekerja, kita tentunya berasumsi bahwa kelompok dalam tekanan ekonomi yang tinggi akan memiliki motivasi paling tinggi untuk bekerja. Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang mengeluhkan sulitnya mencari asisten rumah tangga (ART) dan tak jarang ART keluar masuk seolah mereka tidak membutuhkan uang.
Dalam sebuah studi terhadap 2.000 pekerja yang dilakukan oleh Perkbox menemukan, gaji atau pendapatan berada pada posisi keenam alasan individu bekerja.
Kita harus ingat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Dengan kebutuhan yang beraneka ragam, motivasi manusia juga tidak sesederhana yang kita sangka. Banyak unsur yang memengaruhinya. Motivasi individu tampak dalam sekumpulan emosi, seperti gairah, kesenangan, keinginan, passion, dan harapan.
Emosi ini muncul dalam beberapa trait dan kompetensi, seperti optimisme, kepercayaan diri, ambisi, dan ketangguhan. Bila motivasi melemah, emosi dan kompetensi ini pun tertutupi oleh emosi lain, seperti rasa takut, cemas, sedih, dan keraguan yang mengacaukan motivasi awal. Jadi, bagaimana kita memahami motivasi yang ternyata sulit diraba ini?
Psikolog Frederick Herzberg mengemukakan two factor theory yang menjadi dasar motivasi individu dalam bekerja. Pertama, hygiene factor yang berkenaan dengan lingkungan kerja, seperti peraturan dan kebijakan perusahaan serta gaji dan segala macam tunjangannya. Bila unsur-unsur ini tidak terpenuhi, timbul ketidakpuasan.
Namun, bukan berarti kalau semuanya terpenuhi individu akan merasa puas karena hygiene factor memang harapan individu akan hal-hal yang mereka rasa patut diterima. Adanya tunjangan kesehatan tidak akan meningkatkan motivasi individu dalam bekerja, tapi bila karyawan tidak memiliki tunjangan kesehatan, ia akan merasa organisasi tidak memedulikan kesejahteraan karyawannya.
Faktor kedua, motivators yang berkaitan langsung dengan pekerjaan itu sendiri. Misalnya, apa makna pekerjaan tersebut bagi individu, apakah kontribusinya akan dikenali dan diakui, fleksibilitas dalam waktu dan tempat bekerja, sampai pada bagaimana kesempatannya untuk maju dan berkembang.
Motivators ini bukanlah hal-hal yang menjadi tuntutan yang umum diminta oleh individu. Namun, keberadaannya dapat membuat organisasi tampil berbeda dari organisasi lainnya sehingga menjadi pilihan utama bagi individu.
Kedua hal itu tentunya sangat penting untuk diperhatikan secara seimbang. Ibarat sebuah restoran yang menyediakan added value berupa cashback, tempat yang instagramable, pelayanan yang ramah, tetapi makanannya sering tidak tersedia dan rasanya pun sulit diterima oleh lidah. Pastinya akan ditinggalkan oleh pelanggannya.