“Titik Buta” dalam Kepemimpinan

Sering kali, titik buta muncul karena hal-hal yang dianggap biasa oleh kita, tetapi sebenarnya menghasilkan dampak yang mengganggu bagi orang lain. Misalnya, mereka yang terbiasa menaikkan intensitas suaranya dalam diskusi agar semakin didengar oleh orang lain, tidak sadar bahwa ia membuat orang lain merasa terintimidasi.

Atau, justru mereka yang enggan untuk tampil mengambil peran karena merasa diri bukan siapa-siapa, padahal rekan-rekannya sangat mengharapkan inisiatifnya dengan keahlian yang dimiliki.

Komunikasi to the point yang kita anggap efisien dalam proses diskusi dan pengambilan keputusan ternyata membuat orang lain menutup mulut. Kebiasaan kerja keras sampai larut yang kita anggap menunjukkan dedikasi, membuat orang di sekitarnya merasa burn out karena tidak lagi memiliki keseimbangan kerja.

Si “pembunuh senyap”

Kebiasaan-kebiasaan buruk ini tidak langsung berakibat fatal sehingga sering dibiarkan tanpa ada yang mengintervensi. Namun, perasaan tidak nyaman orang sering kali berakibat pada keinginan untuk meninggalkan organisasi atau pemimpinnya.

Menurut Tom Gimbel pendiri LaSalle Network, tiga alasan utama individu meninggalkan pekerjaannya adalah tidak suka dengan atasannya, ingin penghasilan lebih besar, dan tidak menyukai pekerjaannya.

Beberapa pemimpin dalam semangat mereka untuk optimistis, justru malah terjebak dalam “masked positivity” dengan menolak pendapat berbeda yang tidak selaras dengan pandangan positif mereka, sehingga malah mengaburkan kenyataan yang ada.

Titik buta dapat membuat kita gagal melihat peluang perbaikan ataupun kesempatan berinovasi dengan mengalihkan pada pembenaran-pembenaran.

Kekuasaan besar selain membawa tanggung jawab besar, juga membuka pintu bagi dua jebakan, yaitu hubris(kesombongan) dan fokus yang sempit. Ketika seorang pemimpin merasa superior, mereka sering kali mengabaikan masukan dari bawahan dan cenderung merasa mampu menyelesaikan semua masalah sendiri.

Hal itu bisa berbahaya, terutama pada masa krisis ketika keputusan yang cepat diperlukan dalam kondisi yang serba ambigu. Barry Rand dari Xerox pernah mengatakan, “Jika memiliki seseorang yang hanya bilang ‘ya’ pada Anda, ada ketimpangan dalam hubungan tersebut.”

Ada tiga poros yang perlu kita perhatikan agar tidak membuat titik buta kita bertambah parah. Pertama, kalkulasi emosi. Kita sering mereduksi dampak dari ekspresi emosi kita pada orang lain dengan alasan emosi bersifat sesaat.

Kebijakan The Fed Sukses Melawan Inflasi, Pemangkasan Suku Bunga Jadi Opsi

Seperti yang kita ketahui, Komite Pasar Terbuka Federal, atau FOMC, telah mengadakan rapat pada...

Be Stylish and Comfortable: Tren Fashion 2024

Dunia fashion terus berkembang, dan tahun 2024 ini menonjolkan tren pakaian yang mengutamakan kenyamanan...

Rayakan Kegembiraan Natal dan Tahun Baru di Harris & Pop! Hotel Kelapa Gading Jakarta

Harris & Pop! Hotel Kelapa Gading dengan bangga mengumumkan perayaan Natal dan Tahun Baru...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here