Diskusi Bulanan DIHI UGM
Jumat, 3 September 2021, Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) UGM mengadakan diskusi bulanan ke-5 di tahun 2021. Mengangkat topik ‘Vaccine Diplomacy: Global Health Government in Crisis?’, Drs. Muhadi Sugiono, MA hadir sebagai pembicaranya.
Ketertarikan Muhadi untuk membahas topik ini dimulai dari pernyataan Wakil Duta Besar Indonesia di Rusia, Azis Nurwahyudi, yang menyampaikan dengan bangga bahwa misi diplomatik Indonesia berhasil mendapatkan akses terhadap vaksin Sputnik V yang diproduksi oleh Rusia.
Pada saat itu, media Barat sedang ramai membicarakan tentang diplomasi vaksin. Tetapi diplomasi vaksin ini dipahami dengan cara yang sangat spesifik dan cenderung negatif, yakni mengacu pada apa yang dilakukan oleh Cina dan Rusia.
Diplomasi vaksin dipahami dengan arti sempit yakni dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kapasitas untuk mengembangkan vaksin dan kemudian mendistribusikannya ke negara-negara yang memiliki hubungan strategis dengannya.
Agustus lalu, Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) melakukan kunjungan ke beberapa negara di Asia Tenggara. Harris menyatakan bahwa AS telah menyuplai 23 juta dosis vaksin ke Asia Tenggara secara gratis tanpa ada ikatan terhadap negara penerima vaksin.
Ketika akan berkunjung ke Vietnam untuk menjanjikan suplai 1 juta dosis vaksin Pfizer, penerbangan Harris sempat tertunda selama 3 jam. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi sebuah perkembangan yakni Cina menjanjikan 2 juta dosis vaksin untuk Vietnam, dua kali lipat dari jumlah yang dijanjikan oleh AS.
Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, selama ini memang menjadi konsentrasi distribusi vaksin Cina sehingga keputusan tersebut bisa dipahami sebagai langkah Cina untuk memperkuat diplomasi vaksin yang dilakukannya di kawasan Asia Tenggara.
Keberhasilan diplomasi vaksin Cina dan Rusia bukanlah karena mereka lebih unggul dibandingkan negara-negara Barat dalam hal kemampuan memproduksi vaksin, tetapi karena Cina dan Rusia lebih unggul dalam strategi.
Di saat negara-negara Barat lebih fokus pada nasionalisme vaksin untuk mengamankan akses vaksin terhadap warga negaranya, Cina dan Rusia memanfaatkan hal ini untuk menyasar negara-negara berkembang yang kesulitan mendapatkan akses vaksin bagi warga negaranya.
Strategi ini memiliki dampak yang signifikan dalam dunia hubungan internasional, yakni dengan memunculkan citra Cina dan Rusia sebagai negara yang lebih mudah dijangkau dalam hal akses vaksin.
Kemampuan memproduksi dan mendistribusikan vaksin menjadi sumber soft power bagi Cina dan Rusia, dan mereka siap mengeksploitasi soft power ini. Jika negara-negara Barat tidak fokus pada nasionalisme vaksin di babak awal pandemi COVID-19 ini, diplomasi vaksin Cina dan Rusia mungkin tidak akan sesukses sekarang.
Dalam konteks Indonesia, diplomasi vaksin dipahami sebagai memanfaatkan kedekatan Indonesia terhadap suatu negara untuk memperoleh akses vaksin. Oleh sebab itu, Cina dan Rusia dinilai lebih bermanfaat bagi Indonesia ketika melakukan diplomasi vaksin dibandingkan AS dan Uni Eropa.
Jika dipahami tanpa konteks, diplomasi vaksin terlihat negatif. Oleh sebab itu diplomasi vaksin perlu dipahami dengan konteks supaya kita bisa menilainya dengan lebih proporsional.
Diplomasi vaksin bisa menjadi instrumen perdamaian dengan menciptakan dorongan untuk melakukan kerja sama multilateral baik antarnegara maupun dengan aktor-aktor internasional lainnya.
Muhadi mencontohkan hal yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet ketika mengembangkan vaksin polio di era Perang Dingin, serta dibentuknya GAVI, the Vaccine Alliance, yakni sebuah kemitraan kesehatan global antara pihak publik dan swasta dengan tujuan meningkatkan akses imunisasi di negara-negara berkembang.
Ketika berbicara mengenai diplomasi vaksin, maka kita tidak bisa mengabaikan tata kelola kesehatan global. Tata kelola kesehatan global bukanlah sebuah konsep atau institusi yang statis. Tata kelola kesehatan global dibangun di atas visi kesehatan yang saling bersaing, beroperasi dalam lanskap yang dinamis, dan mencerminkan transformasi pemahaman kita terhadap kesehatan sebagai sebuah isu global.
Oleh sebab itu, tata kesehatan global akan selalu bersifat terfragmentasi dan tidak akan bisa menghasilkan suatu hal yang bersifat menyatukan atau mengikat negara-negara. Dalam konteks pandemi COVID-19, menyalahkan WHO semata karena dianggap tidak mampu bekerja secara efektif bukanlah langkah yang tepat.
Di akhir pemaparannya, Muhadi menyampaikan bahwa konteks politik masih menempatkan diplomasi vaksin dalam sisi negatif yang dikaitkan dengan kompetisi antarnegara.
Namun ia optimis bahwa diplomasi vaksin tidak akan menghancurkan tata kelola kesehatan global, dan diplomasi vaksin akan berakhir ketika vaksin sudah tersedia secara luas dan hampir seluruh masyarakat global memiliki akses terhadap vaksin tersebut.
Muhadi juga berharap diplomasi vaksin yang dilakukan oleh Indonesia tidak semata-mata untuk mengamankan akses vaksin bagi warga negara Indonesia, tetapi juga bisa bekerja sama dengan negara-negara Global South untuk membangun sebuah mekanisme produksi dan distribusi vaksin sehingga negara-negara Global South tidak hanya bergantung pada Cina dan Rusia.
(Penulis: Melisa Rachmania, Editor: Arlitadian Pratama)