Selalu ada perkembangan di bidang TIK (teknologi informasi dan teknologi), media sosial serta platform-platform baru. Yang cukup fenomenal adalah hadirnya YouTube. Platform berbasis video ini bahkan melahirkan kreatir-kreator konten yang menarik.
Memproduksi beragam konten tersebut, mereka tidak hanya berkreasi memanfaatkan audio visual semata, tapi mereka juga mempunyai program secara berkala layaknya stasiun televisi. Yang menarik, di antara mereka juga banyak yang melahirkan karya jurnalistik — baik berupa liputan ataupun berupa wawancara dengan menghadirkan narasumber yang kompeten dan layak berita.
Apakah para YouTuber itu bisa disebut sebagai jurnalis mengingat fungsinya tidak berbeda jauh dengan para wartawan yang bekerja di media massa: menyebarkan informasi kepada masyarakat luas.
Benarkah para vlogger (visual blogger) atau YouTuber (yang bekerja secara profesional) tersebut akan mematikan profesi wartawan di media mainstream dari lembaga konvensional, sebutlah media daring, bahkan media TV sekalipun?
Pertanyaan seputar itulah yang mengemuka dalam webinar yang bertajuk “YouTube Channel and Journalism Content” yang diadakan Padusi melalui platform Zoom, Sabtu (21/08/2021) pukul 10.00 WIB.
Webinar series dengan host Elizabeth Claudia dan Namita Marsya kali ini menghadirkan narasumber Nur Iswan, seorang YouTuber yang dulu pernah menggeluti bidang jurnalistik. Yang memandu acara adalah Nonie Sumarni yang juga dikenal sebagai wartawan senior.
Nur Iswan mengemukakan bahwa informasi seputar fenomena dalam kemajuan teknologi dengan dampak yang dirasakan oleh para jurnalis.
Salah satu platform media sosial yang marak digunakan oleh masyarakat adalah YouTube. Platform tersebut diklaim dapat melahirkan jurnalis-jurnalis baru yang berperan dalam penyebaran informasi dan berita. Salah satu YouTuber papan atas yang berhasil menarik perhatian adalah Deddy Corbuzier, dikarenakan dia dapat mendatangkan siapa saja dalam sebuah talkshow di channel YouTube-nya, mulai dari selebriti, tokoh politik, hingga pejabat negara.
Dalam kamus jurnalistik, “Puncak keberhasilan seorang wartawan adalah mendapatkan narasumber yang high level officer atau yang memiliki peran penting. Dan Deddy bisa melakukan itu,” ujar Iswan.
Situasi yang berjalan saat ini sudah tidak dapat dihindari bahwa definisi dari jurnalisme telah berubah, bahkan terjadi pergeseran dalam waktu 10 tahun terakhir. Iswan mengutip Hadas Gold seorang jurnalis politik “That is because the citizen journalism”.
“Kalau dulu ada garis yang tegas antara jurnalistik dengan dunia online, kalau sekarang garis tegas itu sudah makin blur,” tukasnya.
Menurut Iswan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dunia kewartawanan saat ini dan nanti, yakni akan lebih sering muncul pemberitaan yang lebih dulu muncul di media sosial menyebabkan berita resmi akhirnya mencari tahu fenomena yang terjadi melalui media sosial.
Berikutnya, dengan adanya konsep baru yaitu infotainment, maka semua hal kebanyakan dikemas dengan cara menghibur walaupun pesan pemberitaan tersebut bersifat formal sekalipun.
Juga tidak heran, “Maraknya jurnalis yang tidak memiliki latar belakang jurnalisme sama sekali dan mendalami peran berdasarkan pengalaman personal.”
Iswan juga mencatat fenomena bahwa semua orang bisa menjadi sumber berita, di mana medium atau tempat penyimpanannya berbeda-beda. Medium yang paling kuno adalah printed media, kemudian ada electronic, serta online. Tapi yang menarik, tidak hanya mediumnya yang beragam, media pun mendapat yang sepadan, yakni media sosial.
“Memang kalau kontennya dianggap mempunyai kredibilitas tinggi, sang pewartanya harus memiliki code of ethics,” jelasnya.
Lalu, benarkah mereka, termasuk munculnya YouTuber dalam konteks citizen journalism mengancam profesi jurnalis?
Iswan menegaskan bahwa jurnalis tidak akan pernah mati. “The profession of journalism itu ngga akan pernah bisa dibunuh oleh platform,” ujar Iswan.
Jurnalis tetap memiliki keunggulan di mana sosoknya akan tetap dibutuhkan ketika masyarakat mencari sumber informasi dan fakta yang valid.
Hanya saja, jika sang jurnalis tidak bisa berkembang atau tidak mengikuti perkembangan (teknologi) yang ada maka ia akan tertinggal dan tidak ada yang mengikutinya kembali. Nah!
(Nadia Husna Wear dan Karisha Ainira)